Pekan lalu saya beli dua buah buku yang saya kira tentang traveler gitu. Ternyata hanya satu buku yang benar-benar tentang traveling. Satunya lagi lebih ke novel geografis gitu buat saya.
Novel geografis? Ada ngga sih istilah itu? Hahaha... entahlah. Intinya buku setebal 400 halaman itu berlatar dan berkisah tentang kehidupan pesisir di belahan timur Indonesia.
Asyik benar sepertinya novel itu buat gadis 8 tahun saya. Dia sukses menuntaskannya tidak lebih dari tiga hari. Dengan adegan air mata bercucuran beberapa kali. Saya aja belum berani membelah halamannya, takut kalau isinya terlalu berbobot untuk dicerna otak. Hahaha...
Jadi tadi saya minta dia menuliskan apa yang dia reguk dari novel itu. Dan dia menuliskan beberapa poin berikut:
1. Pengorbanan seorang ibu untuk anaknya.
2. Kasih sayang kepada teman.
3. Pengorbanan seorang kakak untuk adiknya.
4. Bertahan dan bersabar dalam kesulitan
5. Berusaha mendapatkan hidayah.
Nah, kan... berbobot banget, banyak korbannya... 😂😂😂
Jadi sebagai penghargaan atas enjoynya dia membaca novel itu, maka saya kasih dia bonus novel psikologi tentang disleksia dan novel biografi tentang "reach the dream" yang saya keruk-keruk dari kardus buku hasil benah-benah rak buku bulan lalu. Dan dia excited benget 😍😍😍
#ceritanongadgetactivityanakku
#funwithoutgadget
#homeschoolergirl
Jannah_UmmuZahro
Tampilkan postingan dengan label Parenting. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Parenting. Tampilkan semua postingan
Kamis, 30 Maret 2017
Rabu, 11 Februari 2015
Menakar Kesiapan Anak Masuk Sekolah Dasar
![]() |
gambar diambil dari clipartpanda.com |
Case:
Lila masuk playgroup sebelum genap berusia 3 tahun. Masuk TK A usia kurang dari 4 tahun, dan TK B usia kurang dari 5 tahun. Tak terasa sebentar lagi sudah tahun ajaran baru. Sejumlah SD sudah mulai membuka pendaftaran siswa baru. Ayah dan bunda Lila merasa ragu mendaftarkan Lila ke SD, sebab di bulan Juli nanti usianya belum genap 6 tahun. Apakah usia Lila masih terlalu muda untuk masuk SD tahun ini? Apakah nanti Lila akan mengalami kesulitan jika masuk SD tahun ini? Tetapi bukankah Lila sudah terlampau lama di TK? Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di pikiran ayah-bundanya.Meskipun merasa ragu, ayah-bunda Lila tetap melakukan survei ke beberapa sekolah dasar. Ternyata semua sekolah dasar swasta yang mereka kunjungi berkenan menerima siswa baru yang usianya belum mencapai 7 tahun, bahkan belum mencapai 6 tahun. Namun pihak sekolah mengemukakan bahwa nanti akan ada tes untuk mengetahui kesiapan anak masuk sekolah. Jika hasilnya siap, maka anak diterima. Jika belum siap, maka anak tidak bisa masuk ke sekolah tersebut. Ayah dan bunda Lila mengangguk-angguk setuju dengan prosedur tersebut, walau dalam hati masih bertanya-tanya, seperti apa sih yang dimaksud dengan siap masuk sekolah dasar? Apakah tanda siap masuk SD adalah kemampuan calistung? Ah, kalau hanya calistung, ayah dan bunda Lila sangat percaya diri. Lila sudah ikut les calistung sejak umur 4 tahun. Ayah dan bunda yakin dia pasti akan lulus.
Kenyataan pahit tentang tuntutan mampu calistung kepada anak usia dini
Kejadian di bawah ini benar-benar saya temui di sebuah TK:
- Hari Senin di ruang kelas sebuah TK, anak-anak kecil berusia 4 tahun tampak sibuk menulis di buku garis-garis mereka. Ada tugas menyalin kalimat dari bu guru.
- Hari Selasa mereka tampak membaca Iqro’. Satu per satu maju ke meja bu guru untuk dicek bacaannya.
- Hari Rabu masih di ruangan itu, anak-anak tampak menghitung angka-angka.
- Hari Kamis, di ruangan yang sama, anak-anak kecil itu riuh-rendah membaca kalimat-kalimat yang ditulis bu guru di papan tulis.
- Alhamdulillah, hari Jum’at tiba. Hari ini anak-anak memakai seragam olah-raga. Betapa ceria mereka mengikuti gerakan bu guru.
- Hari sabtu, mereka lebih sumringah lagi, sebab hari ini mereka belajar menggunting, melipat kertas, menggambar, juga mewarnai.
Membaca, menulis, dan berhitung atau biasa dikenal dengan istilah calistung adalah sejumlah kemampuan yang biasanya dipersiapkan ayah-bunda sebelum anak masuk sekolah dasar. Jika perlu, selain sekolah, anak juga diikutsertakan les membaca. Masyarakat umum meyakini bahwa kemampuan calistung adalah modal keberhasilan pendidikan anak saat memasuki sekolah dasar. Anak yang sudah mahir calistung, diyakini akan mudah menuntaskan tugas-tugas di sekolahnya kelak.
Sah-sah saja jika anak usia dini, menjelang masuk sd disiapkan kemampuan calistung dengan metode yang menyenangkan bagi mereka. Tetapi patut menjadi perhatian kita bersama, bahwa keberhasilan seorang anak dalam mengikuti proses belajar di kelas, tidak cukup hanya dengan bekal kemampuan calistung. Anak juga memerlukan aneka kemampuan dan keterampilan lainnya, misalnya kemampuan beradaptasi, kemampuan bersosialisasi, kemampuan mengelola emosi, kemandirian, keberanian, juga kemampuan berkomunikasi.
Anak yang sudah mahir calistung namun belum mau berpisah dengan orangtua tentu akan menghambatnya mengikuti aktivitas belajar dengan baik. Anak yang sudah mahir calistung namun terhambat perkembangan sosialnya juga akan mengalami hambatan dalam berinteraksi di sekolah.
Apakah yang dimaksud dengan kesiapan masuk sekolah dasar?
Ada dua hal yang biasanya perlu diperhatikan sebelum anak masuk sekolah dasar, yaitu:
- kematangan masuk sekolah (school maturity)
- kesiapan masuk sekolah (school readiness).
Kematangan secara biologis, selain ditunggu juga perlu didukung stimulasi. Stimulasi yang disajikan kepada anak akhirnya mewujudkan sebuah kesiapan. Perlu diingat bahwa stimulasi yang gencar, masif, dan intensif tidak akan bisa mempercepat kesiapan, sebab kesiapan memerlukan kematangan. Ada efek timbal balik antara nature (alami) dan nurture (stimulasi).
Kesiapan anak masuk sekolah dasar akan berbeda satu dengan yang lain, kapan akan dicapai. Hal ini sangat tergantung pada stimulasi yang diberikan dan kematangan yang dicapai. Sama halnya seorang anak yang berusia 6 bulan jika dipaksa untuk bisa berbicara pasti belum bisa karena organ-organ verbalnya belum matang. Tetapi mungkin saja ada anak usia 24 bulan belum mengeluarkan kata pertama karena kurang stimulasi.
Aspek-aspek Perkembangan Anak
Secara umum, ada empat aspek perkembangan anak yang kesemuanya semestinya berkembang optimal saat mempertimbangkan untuk mendaftarkan anak masuk SD. Orangtua bisa mengamati perkembangan ini dengan mengamati anak sehari-hari. Perkembangan tersebut antara lain:
1. Perkembangan Fisik dan Motorik
Untuk perkembangan motorik, berkaitan dengan kesiapan masuk sd orangtua perlu melihat bagaimana kematangan motorik halus anak. Kemampuan motorik halus akan mempengaruhi kemampuan anak menulis. Banyak aktivitas-aktivitas sederhana yang bisa diterapkan orangtua untuk melatih motorik halus anak, misalnya: menggunting, menempel, mewarnai, melipat, menggambar, menebalkan garis, dll. Orangtua juga perlu mengamati kemampuan anak memegang alat tulis dengan tepat.
2. Perkembangan Sosial
Kemampuan sosial akan mempengaruhi interaksi anak dengan teman sebayanya atau yang lebih tua darinya, misalnya guru atau kakak kelas. Amati apakah anak mudah beradaptasi dengan lingkungan sosial baru, apakah anak mudah memulai pertemanan, dan bagaimana kemampuan anak menyelesaikan konflik dengan teman sebaya.
3. Perkembangan Emosi
Anak-anak yang hendak memasuki jenjang sekolah dasar perlu memiliki kematangan emosi yang baik. Model pembelajaran di sekolah dasar tentu berbeda jauh dengan saat anak masih di TK. Jumlah jam belajar, tingkat kesulitan pelajaran, dan tugas-tugas pasti mempengaruhi mood anak. Misal saat TK anak hanya belajar dari jam 8 sampai 10, ternyata di sekolah dasar anak harus belajar dari jam 7.30 sampai 12. Contoh lainnya saat TK anak banyak melakukan aktivitas otak kanan, misal bermain, bernyanyi, menggambar, mewarnai, menari. Tetapi di sekolah dasar anak banyak melakukan aktivitas yang melibatkan otak kiri.Orangtua perlu mengamati kematangan emosi anak dalam menghadapi perubahan ritme dari TK ke SD.
4. Perkembangan Kognitif (intelektual)
Perkembangan kognitif tentu saja merupakan modalitas belajar. Perkembangan inilah yang sejak awal saya uraikan dalam tulisan ini. Perkembangan kognitif merupakan salah satu faktor penting yang akan mempengaruhi kemampuan anak dalam menyerap pembelajaran di sekolah.
Keempat aspek perkembangan tersebut perlu terpenuhi secara keseluruhan, karena satu sama lain akan saling menguatkan keberhasilan anak mengikuti aktivitas belajar di sekolah dasar.
Nah, para orangtua yang mempunyai anak-anak di TK B, bagaimana kesiapan masuk SD ananda?
Oleh: Miftahul Jannah, M.Psi., Psi*
*Educational Psychologist, Children's Activity Books Writer
1. Perkembangan Fisik dan Motorik
Untuk perkembangan motorik, berkaitan dengan kesiapan masuk sd orangtua perlu melihat bagaimana kematangan motorik halus anak. Kemampuan motorik halus akan mempengaruhi kemampuan anak menulis. Banyak aktivitas-aktivitas sederhana yang bisa diterapkan orangtua untuk melatih motorik halus anak, misalnya: menggunting, menempel, mewarnai, melipat, menggambar, menebalkan garis, dll. Orangtua juga perlu mengamati kemampuan anak memegang alat tulis dengan tepat.
2. Perkembangan Sosial
Kemampuan sosial akan mempengaruhi interaksi anak dengan teman sebayanya atau yang lebih tua darinya, misalnya guru atau kakak kelas. Amati apakah anak mudah beradaptasi dengan lingkungan sosial baru, apakah anak mudah memulai pertemanan, dan bagaimana kemampuan anak menyelesaikan konflik dengan teman sebaya.
3. Perkembangan Emosi
Anak-anak yang hendak memasuki jenjang sekolah dasar perlu memiliki kematangan emosi yang baik. Model pembelajaran di sekolah dasar tentu berbeda jauh dengan saat anak masih di TK. Jumlah jam belajar, tingkat kesulitan pelajaran, dan tugas-tugas pasti mempengaruhi mood anak. Misal saat TK anak hanya belajar dari jam 8 sampai 10, ternyata di sekolah dasar anak harus belajar dari jam 7.30 sampai 12. Contoh lainnya saat TK anak banyak melakukan aktivitas otak kanan, misal bermain, bernyanyi, menggambar, mewarnai, menari. Tetapi di sekolah dasar anak banyak melakukan aktivitas yang melibatkan otak kiri.Orangtua perlu mengamati kematangan emosi anak dalam menghadapi perubahan ritme dari TK ke SD.
4. Perkembangan Kognitif (intelektual)
Perkembangan kognitif tentu saja merupakan modalitas belajar. Perkembangan inilah yang sejak awal saya uraikan dalam tulisan ini. Perkembangan kognitif merupakan salah satu faktor penting yang akan mempengaruhi kemampuan anak dalam menyerap pembelajaran di sekolah.
Keempat aspek perkembangan tersebut perlu terpenuhi secara keseluruhan, karena satu sama lain akan saling menguatkan keberhasilan anak mengikuti aktivitas belajar di sekolah dasar.
Nah, para orangtua yang mempunyai anak-anak di TK B, bagaimana kesiapan masuk SD ananda?
Oleh: Miftahul Jannah, M.Psi., Psi*
*Educational Psychologist, Children's Activity Books Writer
Selasa, 03 Februari 2015
"Nggak Boleh Beli Pakai Uang Orang Lain": Sebuah Pendidikan Karakter
![]() |
gambar diambil dari: http://shapreschool.org/ |
orangtua yang memiliki anak-anak usia sekolah, tetapi juga orangtua yang memiliki anak usia bayi, batita dan balita. Banyak yang bertanya kepada saya tentang apa yang sebaiknya diajarkan kepada anak usia dini mereka, bahkan menanyakan kurikulum apa yang bisa disusun untuk anak-anak yang masih berusia setahun-dua tahun.
Selalu saya katakan, jawabannya adalah TAUHID, AKHLAQ, & ADAB. Pendidikan tauhid akan menjadikan anak-anak kita mengenal penciptanya, pemiliknya, pemberi segala kesenangan dan kebahagiannya. Dia akan pandai bersyukur, mampu mengikat makna atas penciptaan semesta. Lanjutannya dia akan mengenal dan akrab dengan ibadah. Pendidikan akhlaq akan menjadikan anak-anak kita sosok-sosok yang cerdas secara sosial, mapan dalam bergaul, berkarakter. Pendidikan adab akan mengenalkannya kepada sunnah, manner sebagai seorang muslim/ah. Bagaimana seorang muslim/ah makan dan minum, tidur, berpakaian, keluar rumah, naik kendaraan, masuk dan keluar kamar mandi, sangat penting dan mendasar. Itulah yang terpenting untuk ditanamkan kepada anak-anak kita. Stimulasi lainnya? Cukup dengan bermain, karena dengan bermainlah anak usia dini belajar sesuatu.
Pendidikan nilai yang kita tanamkan kepada anak akan terbukti jika anak kita berinteraksi dengan orang lain. Pengalaman kami baru-baru ini menjadi buktinya. Suatu hari saya meminta tolong dibelikan sesuatu kepada asisten rumah tangga kami ke warung dekat rumah. Anak saya meminta ikut menemani. Saya ijinkan. Setiba di rumah, dia menunjukkan sebungkus cokelat dengan sumringah. Sebenarnya nilai cokelat itu tidaklah seberapa, tetapi bukan di situ poin pentingnya. Yang utama adalah, dia hanya meminta ijin untuk menemani, tidak meminta ijin untuk dibelikan apa-apa. Saat itu saya sadari, ada pendidikan nilai (baru) yang harus saya tanamkan kepadanya.
Saya tidak mengijinkan anak saya memakan cokelat itu. Saya tegaskan kepadanya bahwa saat meminta ijin, dia hanya meminta ijin untuk menemani, maka dia harus menepatinya. Anak saya tampak kaget dengan reaksi saya. Tetapi dia tidak mengajukan reasoning apapun.
Dengan wajah sedih dia bertanya, "Lalu permennya?"
"Silakan kakak sedekahkan," jawab saya.
Akhirnya permen itu dia berikan kepada asisten rumah tangga kami (yang mempunyai anak usia 5 tahun). Saya lantas mengajak anak saya ke kamar, seperti biasa, mendiskusikan pengalaman baru kami. Saya sampaikan kepadanya, bukan permennya yang menjadi bagian dari pembelajaran kali ini, sebab seandainya tadi dia meminta ijin untuk dibelikan sesuatu, insya Allah saya pasti mengijinkan.
Sebenarnya saat itu bisa saja saya menoleransi, "Ah, cuma cokelat kecil saja, harganya tak seberapa." Tetapi bisa jadi ada konsekuensi besar dari toleransi saya, anak saya akan terbiasa meminta dibelikan ini-itu kepada siapa saja yang mengajaknya ke warung, swalayan, atau lokasi belanja mana saja.
Dan benar, beberapa hari setelah kejadian tersebut, adik ipar saya mengajak anak saya (dan anaknya) pergi ke sebuah swalayan. Sepulang dari sana, adik ipar saya bercerita bahwa ketika dia menawarkan ini-itu kepada anak saya, dia menjawab, "Enggak usah, nggak boleh beli-beli pakai uang orang lain." Rasanya saya ingin menangis sambil tertawa mendengar cerita adik ipar saya. Demikian apa adanya anak saya menangkap makna dari pesan saya tentang menepati ijin, sampai-sampai omnya sendiri dia anggap "orang lain." Tetapi saya bersyukur, ada sebuah nilai (lagi) yang tertanam di dirinya.
Sungguh, sang pendidik bukanlah kita (orangtua). Anak-anak kitalah yang senantiasa menghadirkan pembelajaran baru bagi kita, untuk terus berusaha menjadi orangtua yang lebih baik lagi. Wallahua'alam.
Djogdja, 03022015
~eMJe~
Minggu, 25 Januari 2015
Pengasuhan, Ibarat Menjaga Permata Titipan
Apabila seseorang yang begitu mulia dan sangat Anda hormati datang kepada Anda lalu berkata, "Kutitipkan padamu permata. Tolong kau jaga baik-baik. Suatu hari nanti akan kuambil kembali permata ini." Kira-kira, apakah Anda akan sungguh-sungguh menjaga permata titipan itu? Tentu saja, bukan? Sudahlah itu permata, yang menitipkan seseorang yang mulia dan sangat Anda hormati lagi. Mana mungkin Anda sembarangan dan seenak hati memperlakukan permata itu. Saya yakin Anda pasti akan menyimpannya di tempat yang istimewa dan memperlakukannya secara istimewa pula. Membalutnya dengan kain yang lembut, menempatkannya di tempat yang indah.
Sebenarnya, yang saya ibaratkan dengan permata tadi adalah anak-anak kita. Kita semua mengakui bukan bahwa anak-anak kita merupakan titipan ALLAH Ta'ala? Mereka bukan milik kita, melainkan milik ALLAH Ta'ala. Dialah ALLAH Ta'ala, Raja segala Raja, Pencipta segala sesuatu. Tidak ada satu tetes air pun turun ke bumi tanpa ijin-Nya. Tidak ada satu helai daun pun yang gugur tanpa pengetahuan-Nya. Dialah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pemelihara, Maha Segalanya. ALLAH, dengan segala kebaikannya telah menitipkan penyejuk mata, penghangat qalbu, ke rumah-rumah kita. Suatu hari nanti, DIA akan bertanya bagaimana kita memperlakukan apa yang DIA titipkan kepada kita.
Semoga ALLAH beri kita kemampuan untuk menjaga dan merawat amanah dari-Nya. Jangan sampai pada saatnya nanti kita dituntut oleh anak-anak kita, karena mereka merasa tidak kita perlakukan dengan layak, sebagaimana harusnya sebuah permata diperlakukan dengan baik.
Wallahua'alam. . .
Djogdja, 25 Januari 2015
~eMJe~
Sebenarnya, yang saya ibaratkan dengan permata tadi adalah anak-anak kita. Kita semua mengakui bukan bahwa anak-anak kita merupakan titipan ALLAH Ta'ala? Mereka bukan milik kita, melainkan milik ALLAH Ta'ala. Dialah ALLAH Ta'ala, Raja segala Raja, Pencipta segala sesuatu. Tidak ada satu tetes air pun turun ke bumi tanpa ijin-Nya. Tidak ada satu helai daun pun yang gugur tanpa pengetahuan-Nya. Dialah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pemelihara, Maha Segalanya. ALLAH, dengan segala kebaikannya telah menitipkan penyejuk mata, penghangat qalbu, ke rumah-rumah kita. Suatu hari nanti, DIA akan bertanya bagaimana kita memperlakukan apa yang DIA titipkan kepada kita.
Semoga ALLAH beri kita kemampuan untuk menjaga dan merawat amanah dari-Nya. Jangan sampai pada saatnya nanti kita dituntut oleh anak-anak kita, karena mereka merasa tidak kita perlakukan dengan layak, sebagaimana harusnya sebuah permata diperlakukan dengan baik.
Wallahua'alam. . .
Djogdja, 25 Januari 2015
~eMJe~
The Second Step of Our Home Education
Finally, tahun ini puteri kami akan bersua dengan usianya yang ke-7. Usia umum anak-anak di negeri kita memasuki gerbang baru jenjang pendidikan mereka, yaitu sekolah dasar. Setahun lebih yang lalu, ketika keluarga kami memutuskan untuk menjadi bagian dari pelaku homeschooling di negeri ini, kami tidak tahu akan sampai kapan akan melakukannya.
Waktu bergulir, setahun berlalu, enam tahun usia anak kami telah lebih setengah. Dia sudah percaya diri menjawab, "Aku homeschooling" jika ada yang bertanya dia sekolah di mana. Tetapi, sehari-hari dia melihat anak-anak tetangga berkemeja putih dan rok merah berangkat sekolah, mencangklong tas di bahu mereka. Sering saya bertanya, "Kakak pengen sekolah?" yang selalu dia jawab dengan, "Kakak suka homeschooling, tapi pengen ada temannya." Memang banyak teman-teman saya yang ingin menitipkan anak-anak mereka untuk belajar bersama kami. Tetapi selalu saya tegaskan, homeschooling menuntut keterlibatan langsung dari orangtua.
Akhir November 2014, sebelum suami saya berangkat ke Korea Selatan, kami bermusyawarah. Kami tawarkan kembali kepada ananda apakah dia ingin melanjutkan homeschooling atau masuk ke sekolah formal. Ketika itu dia menjawab, "Kalau homeschooling nggak ada temannya kakak mau sekolah aja." Akhirnya, kami sampai pada kesepakatan untuk menyekolahkan anak kami di sekolah formal tahun ajaran baru nanti.
Awal Januari 2015, saya ajak ananda untuk survey ke beberapa sekolah dasar. Ada dua sekolah yang dia minati. Pilihan akhirnya jatuh pada salah satu sekolah islam terpadu yang lokasinya tak terlalu jauh dari rumah kami. Di jeda waktu menunggu panggilan sekolah untuk observasi anak, saya mendapat undangan pertemuan dari Komunitas Homeschooling Muslim Nusantara (HSMN). Memang, sekalipun saya banyak masuk ke group-group homeschooling yang ada di facebook, tapi kami belum pernah sekalipun mengikuti aktivitas bersama karena seringkali tidak memungkinkan bagi kami mengikutinya (misal acara berupa camp).
Di pertemuan HSMN itu, alhamdulillah anak kami bertemu dengan seorang ananda shalihah yang seusia dia, Hazimah namanya. Saat itu juga mereka berteman. Tak menunda-nunda, saya dan ibunda Hazimah sepakat untuk bergerak bersama. Sejak itu, anak-anak kami bertemu tiga kali dalam sepekan, dua hari belajar apa saja (tahsin, bahasa, menggambar, mewarnai, menggunting, dll) dan satu hari belajar renang.
Dan. . . masya Allah dampaknya bagi ananda kami. Dia katakan kepada saya, "Mi, kakak mau homeschooling aja seterusnya." Pernyataan inilah sebenarnya yang saya tunggu-tunggu sejak lama. Tetapi masa depannya adalah miliknya, karena itu dia berhak menentukan di mana dan bagaimana dia ingin dididik. Kami sebagai orangtua hanya fasilitator saja.
Dan, inilah saya. Saya tetap menguji kesungguhannya. Saya tanya lagi, lagi, dan lagi tentang pilihannya, yang dengan tegas selalu dia jawab, "Kakak mau homeschooling aja." Saya katakan kepadanya, jika dia sudah memilih, maka dia harus bertanggungjawab pada pilihannya. Dia juga yang harus menyampaikan kepada eyang kakung dan eyang putrinya mengenai pilihan pendidikannya. Semuanya dia jawab dengan, "Iya."
Segera saya sampaikan keputusan ananda kepada suami, yang beliau sambut dengan hamdalah.
Bismillaah. . . semoga ALLAH mudahkan kami menjalaninya, the second step of our home education.
Djogdja, 25 Januari 2015
~eMJe~
Waktu bergulir, setahun berlalu, enam tahun usia anak kami telah lebih setengah. Dia sudah percaya diri menjawab, "Aku homeschooling" jika ada yang bertanya dia sekolah di mana. Tetapi, sehari-hari dia melihat anak-anak tetangga berkemeja putih dan rok merah berangkat sekolah, mencangklong tas di bahu mereka. Sering saya bertanya, "Kakak pengen sekolah?" yang selalu dia jawab dengan, "Kakak suka homeschooling, tapi pengen ada temannya." Memang banyak teman-teman saya yang ingin menitipkan anak-anak mereka untuk belajar bersama kami. Tetapi selalu saya tegaskan, homeschooling menuntut keterlibatan langsung dari orangtua.
Akhir November 2014, sebelum suami saya berangkat ke Korea Selatan, kami bermusyawarah. Kami tawarkan kembali kepada ananda apakah dia ingin melanjutkan homeschooling atau masuk ke sekolah formal. Ketika itu dia menjawab, "Kalau homeschooling nggak ada temannya kakak mau sekolah aja." Akhirnya, kami sampai pada kesepakatan untuk menyekolahkan anak kami di sekolah formal tahun ajaran baru nanti.
Awal Januari 2015, saya ajak ananda untuk survey ke beberapa sekolah dasar. Ada dua sekolah yang dia minati. Pilihan akhirnya jatuh pada salah satu sekolah islam terpadu yang lokasinya tak terlalu jauh dari rumah kami. Di jeda waktu menunggu panggilan sekolah untuk observasi anak, saya mendapat undangan pertemuan dari Komunitas Homeschooling Muslim Nusantara (HSMN). Memang, sekalipun saya banyak masuk ke group-group homeschooling yang ada di facebook, tapi kami belum pernah sekalipun mengikuti aktivitas bersama karena seringkali tidak memungkinkan bagi kami mengikutinya (misal acara berupa camp).
Di pertemuan HSMN itu, alhamdulillah anak kami bertemu dengan seorang ananda shalihah yang seusia dia, Hazimah namanya. Saat itu juga mereka berteman. Tak menunda-nunda, saya dan ibunda Hazimah sepakat untuk bergerak bersama. Sejak itu, anak-anak kami bertemu tiga kali dalam sepekan, dua hari belajar apa saja (tahsin, bahasa, menggambar, mewarnai, menggunting, dll) dan satu hari belajar renang.
Dan. . . masya Allah dampaknya bagi ananda kami. Dia katakan kepada saya, "Mi, kakak mau homeschooling aja seterusnya." Pernyataan inilah sebenarnya yang saya tunggu-tunggu sejak lama. Tetapi masa depannya adalah miliknya, karena itu dia berhak menentukan di mana dan bagaimana dia ingin dididik. Kami sebagai orangtua hanya fasilitator saja.
Dan, inilah saya. Saya tetap menguji kesungguhannya. Saya tanya lagi, lagi, dan lagi tentang pilihannya, yang dengan tegas selalu dia jawab, "Kakak mau homeschooling aja." Saya katakan kepadanya, jika dia sudah memilih, maka dia harus bertanggungjawab pada pilihannya. Dia juga yang harus menyampaikan kepada eyang kakung dan eyang putrinya mengenai pilihan pendidikannya. Semuanya dia jawab dengan, "Iya."
Segera saya sampaikan keputusan ananda kepada suami, yang beliau sambut dengan hamdalah.
Bismillaah. . . semoga ALLAH mudahkan kami menjalaninya, the second step of our home education.
Djogdja, 25 Januari 2015
~eMJe~
Rabu, 14 Januari 2015
Orangtua yang baik adalah...
Apakah orangtua yang baik adalah yang sempurna pengasuhannya? Tidak pernah melakukan kesalahan dalam mengasuh anak-anak mereka? Kenyataannya, dari sekian banyak kelas pengasuhan yang saya ikuti, pembicaranya adalah mereka yang pernah melakukan kesalahan dalam pengasuhannya. Sejumlah orangtua menakjubkan yang saya kenal juga pernah melakukan kesalahan dalam praktik parenting mereka. Tetapi, mereka merefleksi diri dari kesalahan itu dan memperbaiki kualitas pengasuhan mereka. Itulah menurut saya yang membuat mereka menjadi orangtua yang baik.
Seorang sahabat saya mengaku begitu asyik dengan gadget padahal batitanya ada di sebelahnya. Dia melakukan kesalahan tidak hadir secara utuh saat menemani batitanya bermain. Suatu hari gadget itu terjatuh ke selokan, dan dia meyakini bahwa itu adalah cara Allah menegurnya untuk memperbaiki pengasuhannya. Sekarang, dia selalu hadir seutuhnya saat menemani batitanya bermain.
Salah seorang pakar parenting yang pernah saya ikuti kelasnya mengatakan bahwa mulanya dia adalah seseorang yang mudah marah kepada anak-anaknya. Akibatnya, anak-anaknya menjadi anak-anak yang juga mudah marah. Belajar dari kesalahan itu beliau memperbaiki diri dan kualitas pengasuhannya. Itulah yang menjadi modal beliau berbagi dan akhirnya menjadi pakar pengasuhan.
Artinya, siapapun mungkin, boleh, bahkan pasti pernah melakukan kesalahan dalam praktik pengasuhan. Yang menjadikan kita orangtua yang baik atau tidak adalah apakah kita bersedia berubah dan memperbaiki diri setelah mengetahui kesalahan pengasuhan yang kita lakukan.
Yuk, terus evaluasi kualitas pengasuhan kita. Observasi diri sendiri dan baca perilaku anak. Sebab, apapun praktik pengasuhan yang kita lakukan, hasilnya dapat kita baca dari perilaku anak. Semoga Allah beri kita taufik untuk senantiasa belajar menjadi orangtua yang baik. Aamiin. . .
Djogdja, 13 Januari 2015
~eMJe~
Kamis, 14 Agustus 2014
-=Zahro's HS Journal: Peluk & Hafalan Surah Al-Kafirun Story=-
Surah Al-Kafirun ada enam ayat. Ayat ke-3 dan ke-5 sama isinya. Sering ada yang salah baca, nggak? Hehehe... Kenyataannya, Zahro sering terlupa melafalkan ayat ke-4 dan ke-5 saat dia sholat. Begitu selesai tiga ayat, langsung aja dia baca "Lakum diinukum waliyadiin".
Dua hari yang lalu kami memutuskan untuk memperbaiki hafalan Al-Kafirun itu. Karena dia sudah mulai membaca Al-Qur'an, saya minta dia melihat Juz 'Amma anak yang full color dulu. Biar menarik maksudnya. Rupa-rupanya, di juz 'Amma itu ada bahasa Arab yang dilatinkan. Zahro merasa mudah membacanya, sehingga itu yang dia baca dan bukan tulisan Arabnya. Padahal ya kalau salah baca jadi salah bunyi. Malah tambah belepotan makhrajnya. Hehehe... Dan saya alpa, Zahro adalah tipe pembelajar dominan auditori, bukan visual. Kesimpulannya, perbaikan hafalan hari itu... gagal. :D
Lantas saya mencoba metode yang lain. Menyertakan stimulus suara untuknya. Tetap melihat juz 'Amma, sekaligus memutar mp3 Al-Kafirun dengan memilih Qari yang bacaanya tidak terlalu cepat. Alhamdulillaah ada progressnya metode ini. Meski saat murojaah tetap ada " tet-tot"nya, tapi dia udah ngeh mana yang benar dari bacaan yang saya respon "tet-tot" itu.
Sehari-hari, reward yang diminta Zahro amat sederhana. Peluk dia sebelum tidur. Kata Abinya, "Mahar yang amat mudah," hehehe. Karenanya, negative reinforcement Zahro juga sederhana, tidak dipeluk sebelum tidur. Pusing deh dia kalo udah terancam dapat negative reinforcement ini. :D
Nah, dia punya new habits yang bagus-bagus jelek sekarang. Makan sambil baca dan memperagakan yang dia baca. Meski sudah diingatkan berkali-kali untuk menyelesaikan makannya dulu, tetap aja bukunya diintip-intip. Walhasil dua kali nasinya tumpah, dan sekali berserakan remah-remahnya. Akhirnya kemarin terpaksa saya katakan, "Kakak malam ini tidak dipeluk ya, kesepakatannya tidak dilaksanakan. Nih nasinya sampai berserakan di mana-mana."
Well, kalau udah kena negative reinforcement begitu, usually setelahnya pembicaraan hanya akan seputar konfirmasi darinya bahwa hanya malam itu dia tidak dipeluk. Dia goda-goda saya juga pake kartu baca yang berisi kata "PELUK". "Mi, Kakak pengen dapat ini," kekeke...
Malam harinya, ih... Saya pengen peluk dia sebelum tidur. Tapi kan lagi jalanin kesepakatan? Gimana dong? Alhamdulillah ide datang.
Saya tanya dia, "Kak, dikasih quiz mau? Kalau bisa ntar dipeluk, deh."
"Mau!" jawabnya.
Dan quiznya adalah... Murojaah al-Kafirun tanpa "tet-tot", hahaha. Dia langsung sumringah dan mulai murojaah. MasyaAllah, sungguh-sungguh banget sampai tinggal satu aja "tet-tot" nya. Akhirnya... Dapat peluk deh. :-)
And we will have new activity before sleeping, yaitu... Quiz! :D
Djogdja, 14082014
~eMJe~
#homeschooling
#parenting
#journal
Dua hari yang lalu kami memutuskan untuk memperbaiki hafalan Al-Kafirun itu. Karena dia sudah mulai membaca Al-Qur'an, saya minta dia melihat Juz 'Amma anak yang full color dulu. Biar menarik maksudnya. Rupa-rupanya, di juz 'Amma itu ada bahasa Arab yang dilatinkan. Zahro merasa mudah membacanya, sehingga itu yang dia baca dan bukan tulisan Arabnya. Padahal ya kalau salah baca jadi salah bunyi. Malah tambah belepotan makhrajnya. Hehehe... Dan saya alpa, Zahro adalah tipe pembelajar dominan auditori, bukan visual. Kesimpulannya, perbaikan hafalan hari itu... gagal. :D
Lantas saya mencoba metode yang lain. Menyertakan stimulus suara untuknya. Tetap melihat juz 'Amma, sekaligus memutar mp3 Al-Kafirun dengan memilih Qari yang bacaanya tidak terlalu cepat. Alhamdulillaah ada progressnya metode ini. Meski saat murojaah tetap ada " tet-tot"nya, tapi dia udah ngeh mana yang benar dari bacaan yang saya respon "tet-tot" itu.
Sehari-hari, reward yang diminta Zahro amat sederhana. Peluk dia sebelum tidur. Kata Abinya, "Mahar yang amat mudah," hehehe. Karenanya, negative reinforcement Zahro juga sederhana, tidak dipeluk sebelum tidur. Pusing deh dia kalo udah terancam dapat negative reinforcement ini. :D
Nah, dia punya new habits yang bagus-bagus jelek sekarang. Makan sambil baca dan memperagakan yang dia baca. Meski sudah diingatkan berkali-kali untuk menyelesaikan makannya dulu, tetap aja bukunya diintip-intip. Walhasil dua kali nasinya tumpah, dan sekali berserakan remah-remahnya. Akhirnya kemarin terpaksa saya katakan, "Kakak malam ini tidak dipeluk ya, kesepakatannya tidak dilaksanakan. Nih nasinya sampai berserakan di mana-mana."
Well, kalau udah kena negative reinforcement begitu, usually setelahnya pembicaraan hanya akan seputar konfirmasi darinya bahwa hanya malam itu dia tidak dipeluk. Dia goda-goda saya juga pake kartu baca yang berisi kata "PELUK". "Mi, Kakak pengen dapat ini," kekeke...
Malam harinya, ih... Saya pengen peluk dia sebelum tidur. Tapi kan lagi jalanin kesepakatan? Gimana dong? Alhamdulillah ide datang.
Saya tanya dia, "Kak, dikasih quiz mau? Kalau bisa ntar dipeluk, deh."
"Mau!" jawabnya.
Dan quiznya adalah... Murojaah al-Kafirun tanpa "tet-tot", hahaha. Dia langsung sumringah dan mulai murojaah. MasyaAllah, sungguh-sungguh banget sampai tinggal satu aja "tet-tot" nya. Akhirnya... Dapat peluk deh. :-)
And we will have new activity before sleeping, yaitu... Quiz! :D
Djogdja, 14082014
~eMJe~
#homeschooling
#parenting
#journal
Senin, 11 Agustus 2014
Tanyalah, "Are You Happy?"
Kemarin Zahro ikut beraneka ragam lomba dalam rangka hari kemerdekaan. Pengalaman baru dalam enam tahun kehidupannya. Pengennya dia ikut semua cabang lomba; masukin pensil ke dalam botol, lari karung, makan kerupuk, dan ambil koin dalam tepung. Tapi karena saya juga ada acara IIDN Jogja, akhirnya kami terpaksa undur diri setelah lomba makan kerupuk.
Semangatnya begitu luar biasa! Bahkan sejak surat edaran lomba dibagikan kepada warga seminggu yang lalu setiap hari dia bertanya, "Lombanya kapan?" Lihatlah ekspresinya ini,
Kemarin dia menjadi peserta dengan tubuh paling mungil, plus panitia tidak membagi peserta berdasar rentang usia. Jadi dalam lomba yang sama ada anak kecil dan ada remaja, hahaha. Bahkan Ibu-ibu yang pada nonton prihatin melihat Zahro. Tapi dia nggak peduli, nggak toleh kanan-kiri. Binar semangat dan kebahagiaan tak tertutupi dari wajahnya. Alhamdulillah dia berhasil memasukkan pensil ke botol dan berhasil mencapai finish lari karung tanpa terjatuh. Well, makan kerupuknya dia cuma berhasil tiga gigitan, hahaha.
Satu pertanyaan saya saat kami berjalan pulang, "Kakak senang?"
Dia mengangguk gembira sambil berkata, "Kakak pengen ikut semuanya."
Tetapi saya katakan tidak bisa karena kami harus pergi ke acara yang lain.
Sore harinya saya cerita kepada Mama tentang cucunya yang ikut lomba 17 agustusan. Pertanyaan spontan yang keluar dari lisan sang nenek, "Menang?"
Nah siang tadi Eyang Zahro datang ke rumah, dan kamipun menceritakan juga tentang lomba kemarin. Tak saya sangka pertanyaan spontan dari eyangnya sama, "Menang?"
Saya mencoba maklum bahwa orang tua kami masih memandang takaran suatu perlombaan adalah kemenangan. Tetapi saya bukanlah tipe orang tua yang menjadikan "menang" sebagai orientasi dari aktivitas-aktivitas yang diikuti anak. Melainkan dia senang, antusias, enjoy, itulah yang saya inginkan. Yang penting anak menikmati apa yang dilakukannya. Menang itu bonus saja.
Para orang tua, terutama yang senang anak-anaknya ikut lomba, yuk belajar bertanya, "Kamu senang?" pada anak setiap dia selesai mengikuti lomba sebelum kita bertanya, "Kamu menang?"
Djogdja, 11-08-2014
~eMJe~
Semangatnya begitu luar biasa! Bahkan sejak surat edaran lomba dibagikan kepada warga seminggu yang lalu setiap hari dia bertanya, "Lombanya kapan?" Lihatlah ekspresinya ini,
Kemarin dia menjadi peserta dengan tubuh paling mungil, plus panitia tidak membagi peserta berdasar rentang usia. Jadi dalam lomba yang sama ada anak kecil dan ada remaja, hahaha. Bahkan Ibu-ibu yang pada nonton prihatin melihat Zahro. Tapi dia nggak peduli, nggak toleh kanan-kiri. Binar semangat dan kebahagiaan tak tertutupi dari wajahnya. Alhamdulillah dia berhasil memasukkan pensil ke botol dan berhasil mencapai finish lari karung tanpa terjatuh. Well, makan kerupuknya dia cuma berhasil tiga gigitan, hahaha.
Satu pertanyaan saya saat kami berjalan pulang, "Kakak senang?"
Dia mengangguk gembira sambil berkata, "Kakak pengen ikut semuanya."
Tetapi saya katakan tidak bisa karena kami harus pergi ke acara yang lain.
Sore harinya saya cerita kepada Mama tentang cucunya yang ikut lomba 17 agustusan. Pertanyaan spontan yang keluar dari lisan sang nenek, "Menang?"
Nah siang tadi Eyang Zahro datang ke rumah, dan kamipun menceritakan juga tentang lomba kemarin. Tak saya sangka pertanyaan spontan dari eyangnya sama, "Menang?"
Saya mencoba maklum bahwa orang tua kami masih memandang takaran suatu perlombaan adalah kemenangan. Tetapi saya bukanlah tipe orang tua yang menjadikan "menang" sebagai orientasi dari aktivitas-aktivitas yang diikuti anak. Melainkan dia senang, antusias, enjoy, itulah yang saya inginkan. Yang penting anak menikmati apa yang dilakukannya. Menang itu bonus saja.
Para orang tua, terutama yang senang anak-anaknya ikut lomba, yuk belajar bertanya, "Kamu senang?" pada anak setiap dia selesai mengikuti lomba sebelum kita bertanya, "Kamu menang?"
Djogdja, 11-08-2014
~eMJe~
Minggu, 18 Mei 2014
Bermimpi Bersama Anak
Beberapa hari ini Saya banyak menghabiskan waktu dengan membaca buku Einstein Never Used Flashcards. Sebuah buku yang membahas suatu metode untuk melejitkan kecerdasan anak, yaitu dengan mengembangkan kemampuan berbahasa. Saya pribadi termasuk yang meyakini bahwa kecerdasan verbal penting untuk dikembangkan pada anak sejak dini, karena dengan kemampuan berkomunikasi yang baik, insyaALLAH kesempatannya untuk mengetahui berbagai hal baru akan terbuka sedemikian luas.
Ada hal lain yang sebenarnya sedang ingin saya gali dengan mendalam, yaitu tentang peran orang tua dalam melejitkan minat dan bakat anak InsyaALLAH saya akan berbicara tentang ini tanggal 24 Mei besok. Dalam perjalanan saya menggali tentang minat-bakat, cita-cita, future dreams, saya menemukan banyak kutipan-kutipan menggugah yang menarik dan inspiratif. Seperti ini contohnya:
Ah ya, ketika beberapa kali saya menyiapkan tema "Reach My Dreams" untuk anak SMP-SMA, saya begitu yakin akan apa saja yang ingin saya susun dan sampaikan. Tetapi ketika tema yang sama saya siapkan untuk para orang tua yang memiliki anak-anak usia dini, saya menjadi galau, gamang, khawatir. Saya takut salah menyusun kata dan membuat para orang tua salah menangkap maksud saya. Intinya, saya tidak ingin apa yang saya sampaikan nantinya membuat orang tua berlomba-lomba untuk membuat anak-anak mereka kehilangan masa bermain dengan mengikutkan anak-anak mereka ke berbagai after-school courses demi apa yang mereka sebut "melejitkan potensi".
Buat saya, apa yang sebenarnya penting ketika kita sebagai orang tua berbicara tentang kecerdasan, minat dan bakat anak?
1. Yakinilah Bahwa Setiap Anak Cerdas
Setiap anak yang lahir bukanlah ibarat kertas kosong, yang harus dilukis dan diukir oleh kedua orang tuanya. ALLAH Ta’ala menciptakan hamba-hamba-NYA dalam keadaan fitrah, yaitu dengan membekali potensi-potensi kebaikan pada dirinya. Bila anak tumbuh di lingkungan sehari-hari yang normal, beserta orang-orang yang mencintai dan mengajak mereka berkomunikasi, maka otak mereka akan tumbuh dengan semestinya.
2. Bermimpilah Bersamanya, Tetapi Jangan Bermimpi Untuk Dia
Sering kali ketika saya memberi pelatihan kepada mahasiswa di tahun-tahun awal atau pertengahan kuliah mereka saya bertanya, "Apakah jurusan kalian saat ini pilihan kalian sendiri?", "Apakah kalian sudah merasa bahwa kalian berada di jalan yang memang kalian pilih untuk masa depan kalian?" Sayangnya, masih sering saya temui bahwa mereka kuliah di jurusan yang merupakan minat orang tua mereka, bukan minat mereka sendiri. Mereka menyesal masuk ke jurusan itu, mereka merasa tidak cocok dengan mata kuliahnya, mereka merasa kesulitan mengikuti perkuliahan. Efeknya, mereka menjadi mahasiswa yang banyak mencari kesibukan dan kesenangan yang tidak berhubungan dengan kuliah mereka, mereka berpotensi menjadi mahasiswa yang terlambat lulus, bahkan sampai terancam DO.
Karena itu, saya kira penting saya sampaikan kepada orang tua yang mempunyai anak-anak masih berusia dini:
"Bila sebagai orang tua Anda mempunyai mimpi dan mimpi itu tidak/belum tercapai, janganlah wariskan mimpi itu kepada anak-anak Anda secara sepihak. Sebab anak-anak Anda berhak memiliki mimpi mereka sendiri. Jangan bermimpi untuk dia, tetapi bermimpilah bersamanya. Bersama-sama meraih mimpinya."
3. Amati Minat Anak dan Temukan Bakatnya
Saat ini sudah banyak fasilitas untuk mengetahui minat dan bakat anak dengan metode yang canggih dan mutakhir. Tetapi sebenarnya ada cara yang murah meriah untuk mengetahui bakat anak-anak kita. Prinsipnya, anak-anak kita pasti memiliki banyak hal yang ia minati, hal-hal yang ia sangat senang melakukannya. Nah, amatilah minat-minat tersebut. Fasilitas minat-minat itu. Di antara minat-minat anak kita, insyaALLAH pasti ada yang menjadi bakatnya.
Tetapi di sini poin penting dan kritisnya. Jangan sampai atas nama melejitkan bakat anak, orang tua sampai melanggar hak anak untuk memiliki waktu bermain dengan menyertakannya ke beragam kursus. Jangan buru-buru memasukkan anak Anda ke kursus tari, balet, melukis, musik, vokal, olah raga, dan lain-lain sebelum mengetahui apa yang sebenarnya diminati anak dan menjadi bakatnya. Di dalam buku yang pernah saya baca ada pernyataan, "Memperkaya lingkungan dengan memberikan terlalu banyak stimulus kepada anak belum tentu akan meningkatkan potensi anak. Bisa-bisa malah membuat anak menjadi jenuh."
4. Bermainlah Bersamanya
Satu lagi cara sederhana untuk melejitkan kecerdasan anak. Bermainlah bersamanya. Anak-anak kita akan belajar lebih banyak ketika kita bermain dengannya daripada ketika kita membelikan dia kotak cantik berisi peralatan dengan klaim “paling canggih” untuk membangun kecerdasan. Program komputer, siaran televisi, atau permainan edukatif di gadget mungkin saja interaktif, tetapi mereka tidak adaptif. Anak kita mungkin saja mempunyai pertanyaan yang amat kaya, tetapi komputer, gadget dan televisi tidak akan mampu menanggapi kekayaan pertanyaan mereka saat itu juga. Berbeda halnya ketika mereka berinteraksi dan bermain dengan kita. Objek yang sederhana pun bisa menjadi sumber belajar yang istimewa karena anak bisa berkomunikasi dua arah dengan kita.
5. Manfaatkan Apapun yang Ada di Sekitar
Saat kita berada di kendaraan, ada begitu banyak papan reklame, nama-nama jalan, nama-nama toko, dan gedung-gedung yang bisa kita gunakan untuk berinteraksi dengan anak. Bahkan tulisan di bungkus roti dan di kotak susu pun bisa kita manfaatkan untuk beraktivitas bersama anak.
6. Berdo'alah, Do'a Kebaikan Untuknya
Meraih masa depan itu ibarat sedang berkendaraan, menuju ke sebuah tempat. Orang berkendaraan jika ingin selamat sampai ke tujuan maka perlu tunaikan adab-adab perjalanan. Anak-anak TK pun diajarkan do'a naik kendaraan. Maka mendo'akan, do'a kebaikan untuk anak adalah keniscayaan bagi setiap orang tua yang mendambakan anak-anak mereka selamat dalam meraih mimpinya. Berdo'alah untuk mereka. . . selalu. . . setiap saat.
Wallahua'alam.
Djogdja, 18052014
~eMJe~
Ada hal lain yang sebenarnya sedang ingin saya gali dengan mendalam, yaitu tentang peran orang tua dalam melejitkan minat dan bakat anak InsyaALLAH saya akan berbicara tentang ini tanggal 24 Mei besok. Dalam perjalanan saya menggali tentang minat-bakat, cita-cita, future dreams, saya menemukan banyak kutipan-kutipan menggugah yang menarik dan inspiratif. Seperti ini contohnya:
Ah ya, ketika beberapa kali saya menyiapkan tema "Reach My Dreams" untuk anak SMP-SMA, saya begitu yakin akan apa saja yang ingin saya susun dan sampaikan. Tetapi ketika tema yang sama saya siapkan untuk para orang tua yang memiliki anak-anak usia dini, saya menjadi galau, gamang, khawatir. Saya takut salah menyusun kata dan membuat para orang tua salah menangkap maksud saya. Intinya, saya tidak ingin apa yang saya sampaikan nantinya membuat orang tua berlomba-lomba untuk membuat anak-anak mereka kehilangan masa bermain dengan mengikutkan anak-anak mereka ke berbagai after-school courses demi apa yang mereka sebut "melejitkan potensi".
Buat saya, apa yang sebenarnya penting ketika kita sebagai orang tua berbicara tentang kecerdasan, minat dan bakat anak?
1. Yakinilah Bahwa Setiap Anak Cerdas
Setiap anak yang lahir bukanlah ibarat kertas kosong, yang harus dilukis dan diukir oleh kedua orang tuanya. ALLAH Ta’ala menciptakan hamba-hamba-NYA dalam keadaan fitrah, yaitu dengan membekali potensi-potensi kebaikan pada dirinya. Bila anak tumbuh di lingkungan sehari-hari yang normal, beserta orang-orang yang mencintai dan mengajak mereka berkomunikasi, maka otak mereka akan tumbuh dengan semestinya.
2. Bermimpilah Bersamanya, Tetapi Jangan Bermimpi Untuk Dia
Sering kali ketika saya memberi pelatihan kepada mahasiswa di tahun-tahun awal atau pertengahan kuliah mereka saya bertanya, "Apakah jurusan kalian saat ini pilihan kalian sendiri?", "Apakah kalian sudah merasa bahwa kalian berada di jalan yang memang kalian pilih untuk masa depan kalian?" Sayangnya, masih sering saya temui bahwa mereka kuliah di jurusan yang merupakan minat orang tua mereka, bukan minat mereka sendiri. Mereka menyesal masuk ke jurusan itu, mereka merasa tidak cocok dengan mata kuliahnya, mereka merasa kesulitan mengikuti perkuliahan. Efeknya, mereka menjadi mahasiswa yang banyak mencari kesibukan dan kesenangan yang tidak berhubungan dengan kuliah mereka, mereka berpotensi menjadi mahasiswa yang terlambat lulus, bahkan sampai terancam DO.
Karena itu, saya kira penting saya sampaikan kepada orang tua yang mempunyai anak-anak masih berusia dini:
"Bila sebagai orang tua Anda mempunyai mimpi dan mimpi itu tidak/belum tercapai, janganlah wariskan mimpi itu kepada anak-anak Anda secara sepihak. Sebab anak-anak Anda berhak memiliki mimpi mereka sendiri. Jangan bermimpi untuk dia, tetapi bermimpilah bersamanya. Bersama-sama meraih mimpinya."
3. Amati Minat Anak dan Temukan Bakatnya
Saat ini sudah banyak fasilitas untuk mengetahui minat dan bakat anak dengan metode yang canggih dan mutakhir. Tetapi sebenarnya ada cara yang murah meriah untuk mengetahui bakat anak-anak kita. Prinsipnya, anak-anak kita pasti memiliki banyak hal yang ia minati, hal-hal yang ia sangat senang melakukannya. Nah, amatilah minat-minat tersebut. Fasilitas minat-minat itu. Di antara minat-minat anak kita, insyaALLAH pasti ada yang menjadi bakatnya.
Tetapi di sini poin penting dan kritisnya. Jangan sampai atas nama melejitkan bakat anak, orang tua sampai melanggar hak anak untuk memiliki waktu bermain dengan menyertakannya ke beragam kursus. Jangan buru-buru memasukkan anak Anda ke kursus tari, balet, melukis, musik, vokal, olah raga, dan lain-lain sebelum mengetahui apa yang sebenarnya diminati anak dan menjadi bakatnya. Di dalam buku yang pernah saya baca ada pernyataan, "Memperkaya lingkungan dengan memberikan terlalu banyak stimulus kepada anak belum tentu akan meningkatkan potensi anak. Bisa-bisa malah membuat anak menjadi jenuh."
4. Bermainlah Bersamanya
Satu lagi cara sederhana untuk melejitkan kecerdasan anak. Bermainlah bersamanya. Anak-anak kita akan belajar lebih banyak ketika kita bermain dengannya daripada ketika kita membelikan dia kotak cantik berisi peralatan dengan klaim “paling canggih” untuk membangun kecerdasan. Program komputer, siaran televisi, atau permainan edukatif di gadget mungkin saja interaktif, tetapi mereka tidak adaptif. Anak kita mungkin saja mempunyai pertanyaan yang amat kaya, tetapi komputer, gadget dan televisi tidak akan mampu menanggapi kekayaan pertanyaan mereka saat itu juga. Berbeda halnya ketika mereka berinteraksi dan bermain dengan kita. Objek yang sederhana pun bisa menjadi sumber belajar yang istimewa karena anak bisa berkomunikasi dua arah dengan kita.
5. Manfaatkan Apapun yang Ada di Sekitar
Saat kita berada di kendaraan, ada begitu banyak papan reklame, nama-nama jalan, nama-nama toko, dan gedung-gedung yang bisa kita gunakan untuk berinteraksi dengan anak. Bahkan tulisan di bungkus roti dan di kotak susu pun bisa kita manfaatkan untuk beraktivitas bersama anak.
6. Berdo'alah, Do'a Kebaikan Untuknya
Meraih masa depan itu ibarat sedang berkendaraan, menuju ke sebuah tempat. Orang berkendaraan jika ingin selamat sampai ke tujuan maka perlu tunaikan adab-adab perjalanan. Anak-anak TK pun diajarkan do'a naik kendaraan. Maka mendo'akan, do'a kebaikan untuk anak adalah keniscayaan bagi setiap orang tua yang mendambakan anak-anak mereka selamat dalam meraih mimpinya. Berdo'alah untuk mereka. . . selalu. . . setiap saat.
Wallahua'alam.
Djogdja, 18052014
~eMJe~
Kamis, 08 Mei 2014
Serba-serbi Homeschooling: Catatan Webinar Homeschooling Usia Sekolah Sesi #1
Saya masih ingat peristiwa selepas sholat Subuh enam bulan yang lalu. Ketika saya menanyakan hal yang amat penting kepada puteri saya Zahro (5 tahun). Hari itu saya meminta pendapatnya tentang sebuah keputusan besar.
"Kak, gimana kalau kakak sekolah di rumah aja?" Seperti itulah kalimat saya waktu itu.
Lantas Zahro bertanya, "Gurunya siapa?""Gurunya Umi," jawab saya.
"Mau," jawabnya.
Ya, hari itu kami memulai sebuah proses pendidikan baru. Bersekolah di rumah.
Sebenarnya jauh sebelum itu, saya sudah membaca beberapa buku tentang homeschooling. Saya juga sudah bertemu dan mendengar kisah keluarga-keluarga yang menjadi praktisi homeschooling. Bahkan, saya pun sudah beromitmen bahwa suatu hari nanti kami akan menjadi praktisi homeschooling juga. Tetapi saya selalu beralasan, "Anak saya masih satu. Kalau homeschooling sendirian kan sepi?" Saya berharap bahwa Zahro tidak akan HS sendiri, melainkan dengan adiknya. Tetapi adik yang ditunggu tak kunjung datang sampai Zahro berusia 5 tahun. Do'akan ya biar Zahro ALLAH kasih adik. Aamiin :-)
Lalu apakah saya harus terus menunggu? Apakah hanya dengan Zahro sendiri maka homeschooling kami akan benar-benar hambar? Saya belum mencobanya, kan? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang akhirnya menguatkan saya untuk memulai keputusan besar kami.
Kami benar-benar learning by doing dalam menjalani homeschooling kami. Awalnya kami melakukan hal-hal yang acak saja. Menanam sayuran, membuat craft, jalan-jalan melihat tanaman di pinggir-pinggir jalan dekat rumah, mewarnai, tracing, mengerjakan worksheets math, belajar membaca, bercerita. Banyak juga, ya? Hahaha. . .
Suatu hari saya jalan-jalan ke website rumahinspirasi. Betapa bahagianya saya ketika di situ saya menemukan informasi tentang webinar homeschooling usia sekolah. Sebenarnya rada menyesal sih karena ternyata sebelumnya sudah diadakan webinar HS usia dini. Tapi tak apalah. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, hehehe. . . Akhirnya saya pun mendaftar menjadi peserta webinar tersebut.
Dan kemarin malam (07 Mei 2014) webinar sesi #1 telah saya ikuti dengan sangat memuaskan. Begitu banyak pencerahan-pencerahan yang saya peroleh dari penjelasan Mas Aar dan Mbak Lala kemarin malam. Rasa-rasanya, tak pantas ilmu yang saya peroleh kemarin saya simpan sendiri, ya. Karena itu, saya ingin berbagi ilmu yang luar biasa bermanfaat itu di sini.
1. Apa itu homeschooling?
Kemarin Mas Aar menyampaikan sebuah filosofi indah yang membedakan homeschooling dengan sekolah pada umumnya. Di dalam filosofi sekolah dikenal istilah "tabula rasa", seorang anak diibaratkan sebagai kertas kosong. Sekolah atau gurulah yang memamahkan ilmu kepada anak. Tetapi dalam filosofi homeschooling, seorang anak dipandang sebagai individu. Dia memiliki potensi, pendapat, dan sudut pandang. Dia bukanlah makhluk yang pasif. Kata Mas Aar lagi, ternyata makna kata education adalah "mengeluarkan". Karena itu, fungsi utama pendidikan adalah untuk mengeluarkan potensi-potensi yang memang sudah ada dalam diri anak, bukan untuk memamahkan ilmu kepada anak.
Kemarin malam Mas Aar mengawali sesi dengan menjelaskan terlebih dahulu tentang pengertian homeschooling. Jadi, homeschooling merupakan sebuah model pendidikan alternatif. Secara prinsipil, homeschooling adalah konsep pendidikan pilihan yang diselenggarakan di rumah, oleh orang tua. Ada banyak alasan sehingga sebuah keluarga memilih untuk menjadi praktisi HS. Alasan-alasan itu tentunya merupakan cerminan karakteristik dan kebutuhan keluarga tersebut. Ada keluarga yang saya ketahui memilih HS karena mempunyai anak dengan special needs yang kurang terfasilitasi di sekolah umum. Beberapa teman saya memilih HS karena ingin anak-anak mereka lebih fokus menghafal Al-Qur'an. Kalau Mbak Lala dan Mas Aar konsep HSnya mengutamakan kepada pengembangan skills. Nah, kami sendiri sebenarnya memilih HS karena ada beberapa idealisme kami tentang sebuah pendidikan yang kami pandang belum mampu dicover oleh sekolah pada umumnya.
Oya, karena sejatinya homeschooling diselenggarakan di rumah dengan orang tua sebagai pendidiknya, maka orang tua yang keduanya bekerja dan memiliki anak yang masih kecil tidak disarankan untuk menyelenggarakan homeschooling.
2. Filosofi sekolah VS Homeschooling
2. Filosofi sekolah VS Homeschooling
Kemarin Mas Aar menyampaikan sebuah filosofi indah yang membedakan homeschooling dengan sekolah pada umumnya. Di dalam filosofi sekolah dikenal istilah "tabula rasa", seorang anak diibaratkan sebagai kertas kosong. Sekolah atau gurulah yang memamahkan ilmu kepada anak. Tetapi dalam filosofi homeschooling, seorang anak dipandang sebagai individu. Dia memiliki potensi, pendapat, dan sudut pandang. Dia bukanlah makhluk yang pasif. Kata Mas Aar lagi, ternyata makna kata education adalah "mengeluarkan". Karena itu, fungsi utama pendidikan adalah untuk mengeluarkan potensi-potensi yang memang sudah ada dalam diri anak, bukan untuk memamahkan ilmu kepada anak.
Ah ya, penjelasan Mas Aar sungguh menguatkan kefahaman saya selama ini. ALLAH Ta'ala menciptakan anak-anak kita bukan sebagai kertas kosong. Tetapi ALLAH Ta'ala menciptakan anak kita, menitipkannya kepada kita, juga dengan menyertakan potensi-potensi kebaikan pada diri anak-anak kita. Tinggal bagaiman kita sebagai orang tua mendampingi, menemani, dan memfasilitasi agar potensi-potensi kebaikan itu tumbuh dan berkembang seiring pertumbuhan dan perkembangan mereka. MasyaALLAH. . . Laa quwwata illaa billaah.
3. Model Pembelajaran Sekolah VS Homeschooling
3. Model Pembelajaran Sekolah VS Homeschooling
- Di Homeschooling, fungsi utama orang tua adalah sebagai fasilitator
Saya jadi ingat tulisan saya tentang cara sederhana untuk menumbuhkan kecerdasan anak-anak kita. Apa caranya? Diskusi. Dengan diskusi, kita akan menemukan pemikiran-pemikiran yang masih murni namun menakjubkan dari anak-anak kita. Satu contoh ketika saya berdiskusi dengan Zahro saat kami mencuci piring bersama. Zahro bertanya seperti ini:
Zahro: Mi, emangnya ini piring umurnya berapa?
Saya: Kenapa, Kak?
Z: Kok masih dimandikan?
Saat itu Saya bingung menjawabnya, karena kalau saya menjawab jujur jelas piring tersebut sudah lebih tua usianya daripada dia, karena dibeli sejak Saya dan suami baru menikah. Tetapi jika yang lebih tua daripada dia masih "dimandikan" dia pasti akan protes. Maka saya cuma berguman, “hmm. . . hmm. . .” Lantas dia menjawab sendiri,
Z: Ini masih kecil ini, Mi. Lihat kan badannya lebih kecil daripada Kakak.
S: Iya ya, Kak.
Lalu dia bertanya lagi,
Z: Trus dia sampai kapan dimandikan?
Kali ini saya menjawab pertanyaannya,
S: Dia sampai akhir hayatnya akan dimandikan terus, Kak.
Z: Sampai dipanggil ALLAH (meninggal) seperti Kakek?
S: Iya.
A: Sampai pecah! Serunya.
Saya: Kenapa, Kak?
Z: Kok masih dimandikan?
Saat itu Saya bingung menjawabnya, karena kalau saya menjawab jujur jelas piring tersebut sudah lebih tua usianya daripada dia, karena dibeli sejak Saya dan suami baru menikah. Tetapi jika yang lebih tua daripada dia masih "dimandikan" dia pasti akan protes. Maka saya cuma berguman, “hmm. . . hmm. . .” Lantas dia menjawab sendiri,
Z: Ini masih kecil ini, Mi. Lihat kan badannya lebih kecil daripada Kakak.
S: Iya ya, Kak.
Lalu dia bertanya lagi,
Z: Trus dia sampai kapan dimandikan?
Kali ini saya menjawab pertanyaannya,
S: Dia sampai akhir hayatnya akan dimandikan terus, Kak.
Z: Sampai dipanggil ALLAH (meninggal) seperti Kakek?
S: Iya.
A: Sampai pecah! Serunya.
Ya, akhirnya Zahro membuat kesimpulannya sendiri. Bisa dilihat kan bagaimana dialog sederhana bisa menstimulasi proses berpikir anak-anak kita? Diskusi-diskusi sederhana seperti itu tentu saja memang ada syaratnya, yaitu kita sebagai orang tua harus menyediakan waktu untuk mendengarkan anak dan menghargai pendapat-pendapatnya. Dan alhamdulillaah kesempatan itu banyak kami miliki karena menjalani homeschooling ini.
- Di Homeschooling, model pembelajarannya modular bukan tingkat/paket
Keistimewaan homeschooling lainnya yang semakin saya insyafi setelah mendengar penjelasan Mas Aar kemarin adalah tentang model pembelajarannya. Di sekolah, kita mengenal tingkat kelas atau paket pelajaran. Ketika anak tinggal kelas, maka dia harus mengulang semua pelajaran yang menjadi paket di tingkat tersebut, termasuk yang sebenarnya sudah dikuasai anak. Sedangkan di HS model pembelajarannya seperti di perguruan tinggi. Materi yang bisa dikuasai anak lebih cepat boleh dipelajari lebih cepat juga. Jadi bisa saja anak usia 10 tahun (setara kelas 4 SD) pelajaran matematikanya kelas 4, pelajaran sains-nya kelas 5, pelajaran bahasanya kelas 6. Nah, adapun pelajaran yang kurang atau cukup lama dikuasai anak tidak akan menghambat kemajuan pelajaran yang dikuasai anak. Asyik, ya? :-)
Saya jadi teringat lagi nih. Pernah satu hari saya berkunjung ke rumah teman yang punya anak kelas 2 SD. Waktu itu saya minta ditunjukin buku-buku pelajaran sekolahnya. Si anak mengambilkan buku pelajaran sains. Dan ternyata lumayan banyak dari materi di buku tersebut yang sudah dikuasai Zahro, khususnya materi tentang tumbuhan dan hewan. Berarti Zahro udah bisa belajar sains kelas 2 SD, dong? hehehe.
4. Materi Pelajaran & Waktu Belajar
Saya cukup sering ditanyain juga nih soal yang satu ini. Pake buku apa? Materi pelajarannya ambil dari mana? Dari mana aja bisa, hehehe. Kita boleh merujuk materi pelajaran diknas, dari buku-buku yang dijual di toko, boleh juga mengunduh dari sumber-sumber di internet. Sejauh ini saya pun begitu. Beberapa tema saya merujuk pada materi-materi dari diknas. Untuk math saya suka bikin material sendiri, ada juga yang saya unduh dari internet. Untuk sains saya suka lihat-lihat ke charlotte mason dan kids national geographic. Untuk craft kami sering ikut-ikut bikin karya yang dibuat Mister Maker. Karena sekarang saya ikut program menghafal Qur'an ODOL (One Day One Line) dengan metode KQM (Kauny Quantum Memory) via Whatsapp, Zahro juga suka ikut-ikutan menghafal sambil memperagakan. Jadi, sebenarnya sekolah di rumah pun sudah sangat kaya dengan beragam sumber belajar, yang penting sebagai orang tua sekaligus fasilitator kita harus terus belajar juga.
Beberapa aktivitas homeschooling Zahro
Tentang porsi pelajaran, Mas Aar menyampaikan itu bergantung kebutuhan keluarga. Apa yang menjadi fokus HS maka tema-tema berkaitan fokus tersebut tentu boleh banyak porsinya. Berkaitan dengan waktu belajar juga demikian. Kita menitikberatkan pada apa? Pada komitmen belajar atau kepada hasil belajar? Jika kita menitikberatkan pada komitmen belajar, maka kita boleh menetapkan waktu belajar yang tetap. Misalnya dari jam sekian sampai jam sekian. Akan tetapi jika yang menjadi fokus adalah hasil belajar, maka tak masalah belajarnya mau jam berapa dan berapa lama, yang penting target pelajaran tercapai. Poin penting yang harus dimiliki oleh setiap keluarga yang memilih homeschooling adalah mengenali apa yang sebenarnya ingin dibangun/dicapai keluarga. Apa yang menurut orang tua terbaik untuk keluarga dan anak.
5. Opportunities Homeschooling
Ada banyak sekali peluang yang dimiliki oleh keluarga yang memilih untuk menjadi praktisi HS. Antara lain:
- Fleksibilitas pendidikan
- Fleksibilitas dana
- Kustomisasi
- Eksplorasi dunia nyata
- Kedekatan Keluarga
6. Risiko Homeschooling
Bagaimanapun juga, HS tentu memiliki tantangan-tantangan atau risiko. Misalnya infrastruktur yang minim atau kurang memadai. Yang lainnya adalah tekanan baik dari keluarga maupun pemerintah. Kami pun mengalaminya juga, kok. Saat kami memutuskan homeschooling, yang paling menentang adalah nenek-nenek Zahro, Ibu saya dan Ibu mertua. Ibu saya sangat mengkhawatirkan perkembangan sosial Zahro, sementara Ibu mertua mengkhawatirkan perkembangan kognitif Zahro. Tetapi alhamdulillaah seiring waktu berjalan kami bisa membuktikan bahwa dengan homeschooling tidak membuat kekhawatiran-kekhawatiran mereka terwujud, malah sebaliknya.
Saya punya cara sendiri untuk tetap melibatkan Zahro pada banyak situasi sosial. Saya selalu membawanya ke tempat-tempat saya berkegiatan. Saat saya mengisi parenting class ke sekolah-sekolah, saat saya mengajar sebagai dosen tamu di sebuah sekolah tinggi, saat saya berkumpul dengan teman-teman komunitas IIDN Jogja, saat saya pergi mengaji, maka Zahro pasti ikut serta. Akhir-akhir ini, sore hari saya juga memberinya kesempatan untuk bermain sepeda bersama dengan teman-teman sebayanya yang tinggal di dekat rumah. Sering sekali teman-temannya kemudian dia ajak ke rumah kami untuk melakukan aktivitas yang dia kerjakan saat HS, misalnya mewarnai, membaca buku, dll.
Adapun untuk tantangan pemerintah, jujur saja sejauh ini kami belum memikirkannya. Misalnya, bagaimana ujiannya nanti? Hehehe. . . nantilah itu. InsyaALLAH kami yakin ALLAH pasti akan beri kemudahan jika kami bersungguh-sungguh dalam proses ini. Toh tahun ini Zahro baru akan berusia 6 tahun. InsyaALLAH jalan yang akan dia lalui masih sangat panjang. Kami ingin menikmati dulu prosesnya.
7. Legalitas Homeschooling
Nah, bagaimana posisi homeschooling dalam sistem pendidikan di Indonesia?
Nah, bagaimana posisi homeschooling dalam sistem pendidikan di Indonesia?
Dalam sistem pendidikan di Indonesia ada 3 model pendidikan, yaitu:
– Formal: sekolah
– Non formal: kursus-kursus
– Informal: Homeschooling
– Non formal: kursus-kursus
– Informal: Homeschooling
artinya posisi HS jelas ada dalam model pendidikan di tanah air, ya.
Bagaimana dengan kelulusan? Bagaimana dengan ijazah?
Ada beberapa cara yang dijelaskan Mas Aar untuk memperoleh ijazah bagi anak HS, antara lain:
– Ikut ujian persamaan (paket A setara SD, paket B setara SMP, paket C setara SMA).
Nah Ujian paket ini legalitasnya sama dengan Ujian Nasional. Dan ijazah paket C yang diterima legalitasnya sama dengan ijazah SMA. Jadi bisa digunakan kalau anak ingin melanjutkan ke perguruan tinggi.
– Ikut Umbrella school.
– Ikut Umbrella school.
Model yang ini adalah anak terdaftar di sebuah sekolah formal, tetapi proses belajar di rumah. Anak hanya ikut ujian dan kegiatan-kegiatan tertentu saja. Biasanya kita tetap membayar uang sekolah untuk model ini. Sekolah yang mau jadi umbrella school juga cari sendiri, ya. Hehehe. . .
– Ujian Cambridge.
– Ujian Cambridge.
Yang satu ini adalah ujian internasional. It's absolutely a new information buat saya. Kata Mas Aar ujian Cambridge ini per mata pelajaran. Dalam Cambridge ini ada istilah check point yang tujuannya hanya untuk melihat capaian pelajaran anak. Sedangkan yang untuk menentukan kelulusan ada yang namanya IGCSE dan A Level. Info selengkapnya bisa dilihat di sini.
Nah, bagaimana? Complete banget kan penjelasan Mas Aar dan Mbak Lala? :-) Itu baru satu sesi, lho. Masih ada 3 sesi lainnya. Saya merasa beruntung banget bisa ikut webinar ini. Wawasan bertambah, keyakinan untuk menjalani homeschooling pun semakin kuat. Semoga resume sederhana yang saya buat ini bisa menginspirasi keluarga-keluarga lain yang berniat homeschooling tapi belum tahu seluk-beluk homeschooling, ya.
Hmm. . . saya udah nggak sabar menantikan webinar sesi #2.
Tunggu resume saya selanjutnya, ya. . . :-)
Djogdja, 08052014
~eMJe~
Kamis, 24 April 2014
Parenting: Membangun Kelekatan Ayah-Anak
Anak-anak kita membutuhkan kedekatan dan kelekatan tidak hanya kepada Ibunya saja, tetapi juga kepada Ayahnya. Seorang Ayah, bukan hanya penjemput rizqi keluarga. Sebagaimana seorang pemimpin yang akan ditanya mengenai kepemimpinannya, maka Ayah akan ditanya tentang keluarganya di akhirat nanti. Bagaimana Ayah akan menjawab pertanyaan ALLAH nanti jika dia tidak terlibat dalam pengasuhan anaknya?
Anak laki-laki yang dekat dengan Ayahnya pasti bisa seru-seruan bareng, ya. Sedang anak perempuan yang dekat dengan ayahnya akan tumbuh rasa aman (secure) di dalam dirinya. Banyak saya temui remaja perempuan yang berpacaran dan saya tanya apa alasan mereka berpacaran, hampir semua beralasan agar mendapat kasih sayang dari sosok laki-laki. Kasih sayang yang tidak mereka dapatkan dari Ayah mereka.
Jika ada yang bertanya kepada saya, "Anak Ibu dekat nggak sama Ayahnya?"
Hari ini, saya dengan bahagia mengatakan bahwa antara anak saya dengan Abinya sudah terjalin bonding atau kelekatan yang kuat. Bila 3-5 tahun yang lalu pertanyaan yang sama ditanyakan kepada saya, maka saya pasti ragu menjawabnya. Mengapa? Karena memang kelekatan antara anak saya dan Abinya tidak terbentuk sejak awal kelahirannya.
Barangkali ada yang terkejut jika mengetahui kenyataan bahwa saat anak saya bayi, Abinya hanya hitungan jari menggendongnya. Ya, hitungan jari. Bahkan mungkin tak sampai semua jari tangan. Ketika itu alasannya karena takut pakaiannya terkena najis. Alasan yang berlebihan buat saya. Mungkin bagi yang lain juga iya, kan? Masa sih hanya karena takut najis sampai tega tidak menggendong anak sendiri? Tapi itulah kenyataannya. Dampaknya tentu saja sudah terbayangkan, saat toddler Zahro tidak dekat bahkan cenderung takut kepada Abinya.
Saking risaunya, saya ingat sekali suatu kali saya sampai mengatakan kepada suami saya, "Umi tidak bertanggungjawab jika anak Abi tidak dekat dan tidak sayang kepada Abinya."
Ada satu alasan yang amat sering diulang-ulang suami saya, "Aku tidak tahu bagaimana seharusnya dan sebaiknya bersikap kepada anak, karena waktu kecil aku tidak mendapat kasih sayang dan perhatian dari Papa."
Pernyataan suami saya membuat saya mafhum. Ah ya, suami saya tidak punya contoh bagaimana seorang ayah terlibat dalam pengasuhan anak. Memang, Papa mertua saya selalu bertugas di luar kota. Sampai saya menikah dengan suami pun masih seperti itu.
Saya yakin, selain suami saya ada banyak sosok Ayah yang pada masa kecilnya mempunyai ruang kosong dari peran dan kasih ayah mereka. Tapi beberapa orang yang saya kenal ada yang mengambil pelajaran dari kekosongan itu dengan tidak melakukan hal yang sama kepada anak mereka. Mereka menjadi ayah yang sangat peduli, sangat dekat dan terlibat dalam pengasuhan dan pendidikan anak-anak mereka.
Tentu saja sayapun ingin suami saya juga menjadi bagian dari Ayah yang seperti itu. Saya tidak mau alasan suami saya menjadi pembenaran bahwa dia berhak untuk tidak dekat dengan anaknya. Karena dia tidak merasakan kasih sayang Papa saat dia kecil, maka anaknya boleh tidak merasakan kasih sayang. Hello, anaknya punya hak untuk mendapat kasih sayangnya.
So, what should I do? Saya tidak boleh dong hanya menyalahkan doang lalu tinggal diam. Mau sampai kapan kalau cuma menunggu?
Maka saya pun memulai ikhtiyar saya, sebagai seorang istri, sebagai seorang Ibu. Sebuah misi membangunkan kelekatan antara Zahro dan Abinya. Apa yang saya lakukan? Bermula dari hal-hal sederhana saja. Ketika Zahro meminta saya membantunya melakukan sesuatu, misalnya membuka bungkusan makanan, maka saya minta dia agar meminta bantuan kepada Abinya. Ketika Abinya pamit membeli sesuatu ke swalayan dekat rumah, maka saya katakan kepada Zahro, "Sana minta ikut sama Abi." Akhirnya setiap Abinya akan pergi ke tempat yang tidak jauh dan tidak lama Zahro selalu minta ikut. Minta ditemani naik sepeda, minta diantarkan berenang ke homestay dekat rumah, makan sepiring berdua, berangkat dari hal-hal kecil dan sederhana itulah mereka menjalin kelekatan. Dan. . . hari ini saya bisa melihat cinta dan kasih sayang telah tumbuh di antara mereka berdua. Sampai sekarang, saya selalu memberi kesempatan kepada mereka berdua untuk punya father-daughter moment.
Jadi, ketika seorang Ibu melihat ada fatherless di dalam keluarga, barangkali kita bisa mengulurkan tangan untuk membantu melekatkan anak-anak kita dengan Ayah mereka dengan memberi mereka kesempatan untuk mempunyai momen ayah-anak. InsyaALLAH kebersamaaan yang berulang, momen-momen sederhana namun berharga itu akan menumbuhkan cinta di antara mereka. Wallahua'am.
Momen-momen indah ayah-anak yang sempat terekam:
24042014
~eMJe~
Anak laki-laki yang dekat dengan Ayahnya pasti bisa seru-seruan bareng, ya. Sedang anak perempuan yang dekat dengan ayahnya akan tumbuh rasa aman (secure) di dalam dirinya. Banyak saya temui remaja perempuan yang berpacaran dan saya tanya apa alasan mereka berpacaran, hampir semua beralasan agar mendapat kasih sayang dari sosok laki-laki. Kasih sayang yang tidak mereka dapatkan dari Ayah mereka.
Jika ada yang bertanya kepada saya, "Anak Ibu dekat nggak sama Ayahnya?"
Hari ini, saya dengan bahagia mengatakan bahwa antara anak saya dengan Abinya sudah terjalin bonding atau kelekatan yang kuat. Bila 3-5 tahun yang lalu pertanyaan yang sama ditanyakan kepada saya, maka saya pasti ragu menjawabnya. Mengapa? Karena memang kelekatan antara anak saya dan Abinya tidak terbentuk sejak awal kelahirannya.
Barangkali ada yang terkejut jika mengetahui kenyataan bahwa saat anak saya bayi, Abinya hanya hitungan jari menggendongnya. Ya, hitungan jari. Bahkan mungkin tak sampai semua jari tangan. Ketika itu alasannya karena takut pakaiannya terkena najis. Alasan yang berlebihan buat saya. Mungkin bagi yang lain juga iya, kan? Masa sih hanya karena takut najis sampai tega tidak menggendong anak sendiri? Tapi itulah kenyataannya. Dampaknya tentu saja sudah terbayangkan, saat toddler Zahro tidak dekat bahkan cenderung takut kepada Abinya.
Saking risaunya, saya ingat sekali suatu kali saya sampai mengatakan kepada suami saya, "Umi tidak bertanggungjawab jika anak Abi tidak dekat dan tidak sayang kepada Abinya."
Ada satu alasan yang amat sering diulang-ulang suami saya, "Aku tidak tahu bagaimana seharusnya dan sebaiknya bersikap kepada anak, karena waktu kecil aku tidak mendapat kasih sayang dan perhatian dari Papa."
Pernyataan suami saya membuat saya mafhum. Ah ya, suami saya tidak punya contoh bagaimana seorang ayah terlibat dalam pengasuhan anak. Memang, Papa mertua saya selalu bertugas di luar kota. Sampai saya menikah dengan suami pun masih seperti itu.
Saya yakin, selain suami saya ada banyak sosok Ayah yang pada masa kecilnya mempunyai ruang kosong dari peran dan kasih ayah mereka. Tapi beberapa orang yang saya kenal ada yang mengambil pelajaran dari kekosongan itu dengan tidak melakukan hal yang sama kepada anak mereka. Mereka menjadi ayah yang sangat peduli, sangat dekat dan terlibat dalam pengasuhan dan pendidikan anak-anak mereka.
Tentu saja sayapun ingin suami saya juga menjadi bagian dari Ayah yang seperti itu. Saya tidak mau alasan suami saya menjadi pembenaran bahwa dia berhak untuk tidak dekat dengan anaknya. Karena dia tidak merasakan kasih sayang Papa saat dia kecil, maka anaknya boleh tidak merasakan kasih sayang. Hello, anaknya punya hak untuk mendapat kasih sayangnya.
So, what should I do? Saya tidak boleh dong hanya menyalahkan doang lalu tinggal diam. Mau sampai kapan kalau cuma menunggu?
Maka saya pun memulai ikhtiyar saya, sebagai seorang istri, sebagai seorang Ibu. Sebuah misi membangunkan kelekatan antara Zahro dan Abinya. Apa yang saya lakukan? Bermula dari hal-hal sederhana saja. Ketika Zahro meminta saya membantunya melakukan sesuatu, misalnya membuka bungkusan makanan, maka saya minta dia agar meminta bantuan kepada Abinya. Ketika Abinya pamit membeli sesuatu ke swalayan dekat rumah, maka saya katakan kepada Zahro, "Sana minta ikut sama Abi." Akhirnya setiap Abinya akan pergi ke tempat yang tidak jauh dan tidak lama Zahro selalu minta ikut. Minta ditemani naik sepeda, minta diantarkan berenang ke homestay dekat rumah, makan sepiring berdua, berangkat dari hal-hal kecil dan sederhana itulah mereka menjalin kelekatan. Dan. . . hari ini saya bisa melihat cinta dan kasih sayang telah tumbuh di antara mereka berdua. Sampai sekarang, saya selalu memberi kesempatan kepada mereka berdua untuk punya father-daughter moment.
Jadi, ketika seorang Ibu melihat ada fatherless di dalam keluarga, barangkali kita bisa mengulurkan tangan untuk membantu melekatkan anak-anak kita dengan Ayah mereka dengan memberi mereka kesempatan untuk mempunyai momen ayah-anak. InsyaALLAH kebersamaaan yang berulang, momen-momen sederhana namun berharga itu akan menumbuhkan cinta di antara mereka. Wallahua'am.
Momen-momen indah ayah-anak yang sempat terekam:
![]() |
Makan yoghurt berdua ^^ |
![]() |
Makan nasi sepiring berdua ^^ |
![]() |
Pompa ban sepeda berdua ^^ |
24042014
~eMJe~
Jumat, 24 Januari 2014
-=Mitos Mozart VS Stimulasi Al-Qur'an=-
Penelitian menunjukkan bahwa musik klasik, khususnya mozart tidak akan menambah kecerdasan bayi. Kenyataannya, mitos bahwa mendengar mozart akan menambah kecerdasan berangkat dari penelitian Francis Rauscher, Ph.D, profesor di University of Wisconsin dkk di kampus Oshkosh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah mendengar sonata Mozart salama 10 menit, 79 orang mahasiswa bisa menyelesaikan salah satu bagian dalam tes Stanford Binet, yaitu "kemampuan visual-ruang" dengan lebih baik. Skor mereka meningkat 9-10 poin setelah mendengar Sonata karya Mozart untuk dua piano dalam kunci D Mayor K 448 (saya tulis apa adanya, aslinya kaga ngerti, hehehe). Ternyata, dampak perlakuan tersebut hanya bertahan 8-10 menit. Mendengar Mozart ternyata hanya mempengaruhi suasana hati pendengar, tetapi bukan inteligensi mereka secara keseluruhan. Efek ketenangan setelah mendengar Mozartlah yang membuat hasil tes mereka menjadi lebih baik. Akan tetapi media telah menyebarkan mitos bahwa setiap bayi perlu diperdengarkan musik klasik agar sel otaknya berfungsi. Beralih pada Al-Qur'an, I've prove it by myself bahwa anak saya mudah melafalkan kembali surah-surah pendek yang biasa dia dengar saat masih dalam kandungan. Surah pertama yang berhasil dia lafalkan kembali adalah Al-Fatihah di usia 2 tahun. Saya yakin banyak orang tua memiliki pengalaman yang sama. Cepat-lambat dan banyak-sedikit hafalan Qur'an anak, saya yakin perkara do'a, ikhtiar, kesungguhan, motivasi, dan stimulasi orang tua saja yang membedakannya. Berkait dengan efek ketenangan yang diperoleh dengan mendengar musik klasik, tentunya tidak perlu kita ragukan bahwa dengan membaca dan mendengar Al-Qur'an kita akan mendapat efek yang sama bahkan jauh lebih dahsyat. Amat menarik sepertinya menemukan relasi stimulasi Al-Qur'an terhadap fungsi-fungsi kecerdasan anak. Kalau ada penelitian yang sudah menemukannya bolehlah saya dibagi ya.
~eMJe, 24 Januari 2014~
~eMJe, 24 Januari 2014~
Selasa, 21 Januari 2014
-=Beban Orang Tua, Derita Anak (1)=-
Saya terperangah takjub menatap baris-baris tulisan yang saya baca di buku
"Einstein Never Used Flash Card" by Kathy H-Pasek, PhD. Roberta MG,
PhD., & Diane E., PhD, . Meskipun ada beberapa bagian dari terjemahannya
menurut saya tidak nyaman dibaca, tetapi betapa. . . oh sungguh betapa. Betapa
apa? Anda ingin tahu? Hmm. . . (garuk-garuk dagu), bagi nggak ya? Hehehe. . .
Baiklah, saya akan membagikan interesting parts (buat saya tentunya) ke sini.
Jadi sepertinya akan berseri. Asyiiik, bisa apdet status banyak-banyak ^^.
Okay, lemme start yah.
----------------
Tidak heran jika orang tua dan pendidik masa kini merasa lelah dan stres, sebab mereka telah terperangkap dalam kincir angin asumsi kultural tentang cara membesarkan dan mendidik generasi selanjutnya. Orang tua mendapat pengetahuan bahwa "Faster is Better", "Lebih cepat itu Lebih Baik," bahwa orang tua harus mendorong anak belajar di tingkat kecepatan yang tinggi. Orang tua mendapat pengetahuan bahwa anak-anak mereka ibarat ruangan kosong yang harus mereka tata karena mereka adalah desainer interior anak-anak mereka.
Pada pertengahan abad 1980-an, Profesor Elkind dari Tufts University membicarakan buku klasiknya, "The Hurried Child". Beliau merasa khawatir dengan pendewasaan dini anak-anak yang terlibat dalam beragam aktivitas berorientasi orang dewasa yang dirancang untuk anak-anak pra sekolah. (Saya tahu tapi tak terlalu tahu hehehe. . . tetapi mungkin di luar sana ada kursus musik, tari, sepakbola, membaca, atau berhitung untuk balita ya? Ah ya, jadi ingat bahkan buku-buku di pasaran juga menawarkannya).
Zaman sekarang, balapan untuk mengubah anak menjadi yang paling berbakat sudah dimulai bahkan sebelum anak lahir. Ketika seorang Ibu hamil hendak membeli perlengkapan bayi ke toko, perhatiannya bukan lagi terfokus pada popok, celana atau baju bayi, tetapi pada sesuatu yang lebih wah, kartu flash dengan gambar di bagian depan dan kata-kata di bagian belakang. Konon kartu itu menawarkan cara terbaik untuk mengomunikasikan pengetahuan baru kepada bayi. Ada juga video yang menawarkan tentang cara mengembangkan otak kanan-otak kiri. Di buku tersebut dituli, bahkan seorang Ibu hamil sampai berpikir apakah otak bayinya tidak akan bisa berkembang tanpa video itu. Ya, berbagai penawaran tentang melejitkan potensi intelektual bayi akhirnya membuat orang tua masa kini banyak yang khawatir dengan perkembangan intelektual bayinya, bahkan sebelum anaknya lahir.
Artikel majalah membujuk orang tua agar berlatih selama hamil dengan janji bahwa itu akan meningkatkan kecerdasan bayi mereka. Iklan di majalah mendorong orang tua untuk membeli berbagai macam CD untuk disajikan pada anak-anak mereka kelak kalau sudah lahir. Begitu bayi lahir, dorongan untuk memindahkan mereka secepat mungkin ke kompetensi orang dewasa semakin meningkat. Mereka didorong untuk lebih cepat memiliki keterampilan membaca serta lebih dini memiliki kemampuan berhitung. Penelitian menunjukkan bahwa 65% orang tua percaya bahwa kartu flash "sangat efektif" untuk membantu meningkatkan kecerdasan anak usia 2 tahun. Dan lebih dari 1/3 orang tua yang disurvey percaya bahwa memainkan Mozart untuk bayi mereka akan meningkatkan perkembangan otak anak mereka. Ya, bisnis pendidikan bayi telah menemukan konsumennya.
---------------
Hayo. . . hayo, siapa yang kasih flash card ke bayinya?
Tujuannya apa?
Pengen anak pintar?
Pengen anak bisa cepat membaca?
Pengen anak tampak lebih "hebat" daripada anak lain seusianya?
Jawab-jawab di comments ya. . .
I will continue my resume on next status.
Rabu, 01 Januari 2014
Manfaat Memiliki Binatang Peliharaan Bagi Anak
Secara teoritis, konon memiliki binatang peliharaan mempunyai dampak yang sangat baik bagi kesehatan anak, baik kesehatan fisiologis maupun kesehatan psikologis. Secara praktis, mengizinkan Zahro, puteri saya memiliki binatang peliharaan dalam amatan saya mempunyai dampak positif yang cukup banyak, di antaranya:
1. Belajar peduli.
Dengan memperhatikan apakah binatang peliharaannya sudah makan/belum, kandangnya sudah dibersihkan/belum, dia belajar peduli pada binatang-binatang itu.
2. Belajar empati.
Ketika tempat makan binatangnya kosong, air minumnya habis atau kandangnya kotor, muncul rasa kasihan di dirinya. Reaksinya biasanya bergegas mengambilkan makan atau memberitahu Umi/Abi bahwa makanan/minuman binatang peliharaannya habis.
3. Belajar kelembutan.
Momen-momen berinteraksi fisik dengan binatang peliharannya jelas sekali berdampak positif terhadap perilaku lembutnya. Tubuh binatang yang kecil itu tentu harus ia pegang dengan sangat hati-hati.
4. Belajar berkasih-sayang.
Saking sayangnya, sampai-sampai binatang peliharaannya harus masuk kamar tidur, harus di sebelahnya saat dia makan, intinya pada banyak kesempatan seandainya memungkinkan maka binatang itu harus ada di dekatnya.
5. Dia belajar berekspresi.
Katanya dia bisa bicara pada binatang. . . Hehehe. . . Tentu saja itu hanya imajinasinya. Tetapi punya binatang peliharaan membuatnya belajar berekspresi dengan mengajak binatang peliharaannya mengobrol. Kadang-kadang dia juga menerjemahkan gerakan fisik si binatang semaunya dia. Hehehe. . .
6. Belajar bertanggungjawab
Yang satu ini mungkin akan menjadi bagian pembelajaran dia nantinya, yaitu bertanggungjawab terhadap makan-minum dan kebersihan binatang peliharaannya. Saat ini sebagian besar urusan membersihkan kandang dan memberi makan memang masih dikerjakan oleh Umi dan Abi, karena dari keterampilan dan kemampuannya Zahro belum mumpuni.
Ada beberapa hewan yang sering berinteraksi langsung dengan Zahro. Ada yang memang sengaja dipelihara (maksudnya ikut berdiam di rumah kami), ada juga yang sekedar diberi makan saja. Yang sampai saat ini masih setia menemani Zahro adalah seekor hamster yang dia beri nama "Hamster imut" dan dua ekor ikan kecil-kecil. Adapun yang hanya dia beri makan saja adalah kucing kampung yang suka tidur di teras rumah kami.
Djogdja, 1 Januari 2014
Minggu, 29 Desember 2013
-=Pandai-pandai Memperlakukan Si Tabung Segi Empat=-
![]() |
Ilustrasi tabung segi 4 (baca: Televisi) |
Wahai kita, para orang tua. . . Jangan bingung bila
anak-anak kita yang balita sudah tahu istilah love, pacar, pacaran apabila kita
mengizinkan mereka mengkonsumsi tayangan televisi atau lagu-lagu yang isinya
tentang itu. Karena mereka adalah perekam luar biasa.
Wahai kita, para orang tua. . . Jangan heran jika anak-anak
kita sangat konsumtif terhadap berbagai jenis produk jika setiap hari kita
membiarkan mereka melihat bermacam-macam iklan yang berseliweran di tabung segi
empat yang konon bentuknya sekarang flat dengan ukuran super gede di
rumah-rumah kita. Karena sesuatu yang baru senantiasa ingin mereka miliki.
Wahai kita, para orang tua. . . Berhentilah merasa lega jika
anak-anak kita menjadi anteng, tenang, karena matanya, hatinya, dan fikirannya
fokus pada tontonannya sehingga kita bebas melakukan kesibukan pribadi kita.
Sebab tidak semua yang ia tonton baik dan pasti lebih banyak tidak baiknya. Dan
pada akhirnya, kerepotan kita akan semakin bertambah-tambah jika televisi sudah
menjadi candu baginya dan mempengaruhi fikir serta tingkah-polahnya.
Para orang tua yang bekerja di luar rumah, pastikanlah bahwa
waktu Anda di rumah bukan lagi milik tayangan televisi, melainkan milik anak.
Sudah cukup sebagian besar waktu Anda untuk anak tersita oleh pekerjaan Anda,
jangan lagi keberadaan Anda di rumah juga bukan milik mereka.
Gantilah kegiatan menonton televisi dengan beraktivitas
bersama anak. Libatkan mereka dalam aktivitas memasak, mencuci kendaraan,
mengurus taman, menata kamar atau rumah, bersepeda, jalan-jalan ke toko buku
atau ikut bermain peran dengan mereka.
Berkomunikasilah dengan mereka. Minta anak menceritakan
aktivitasnya saat Anda tidak bersamanya, ceritakan pula aktivitas Anda saat
tidak bersamanya. Kegiatan ini sangat mengasyikkan dan sangat membantu dalam
membangun kedekatan orang tua dan anak. Anak-anak itu pencerita yang handal dan
juga pendengar yang imajinatif. Dengan cara ini, anak-anak juga akan tumbuh
menjadi individu yang komunikatif.
Bacakan cerita untuk mereka. Yakinlah, anak-anak sangat
senang dibacakan cerita. Tetapi ingat, sebelum membacakan cerita kepada anak,
pastikan Anda sudah membaca cerita tersebut terlebih dahulu. Lagi-lagi ini
adalah soal kepantasan dan kualitas sajian yang ingin kita berikan kepada anak.
Kebiasaan membacakan cerita kepada anak adalah salah satu langkah mengenalkan
anak kita untuk akrab dengan buku dan cinta membaca.
Kenalkan anak pada aktivitas produktif yang melibatkan
kognisi dan psikomotorik mereka. Misalnya mewarnai, menyusun balok atau puzzle,
atau bermain bersama teman sebaya. Aktivitas-aktivitas ini apabila mereka
menikmatinya, akan membuat mereka tidak terlalu merasa butuh menonton televisi.
Yang paling utama, awalilah dari diri kita sendiri terlebih
dahulu. Mulailah untuk membatasi waktu kita menonton televisi dan jika bisa,
mulailah belajar untuk hidup tanpa tayangan televisi, terutama saat kita sedang
bersama anak-anak kita.
#Hidup tanpa tayangan televisi itu tenang dan
menyenangkan. Proved :)
Lagu Bangun Tidur Yang Ada Sholat Subuhnya
![]() |
Zaman Zahro masih 2 years old, hehehe. . . |
1. Mengajaknya berdo'a bangun tidur.
2. Memintanya buang air kecil dan berwudhu.
3. Mengajaknya sholat Subuh berjama'ah (kalau dia bangun sebelum atau pas azan Subuh) atau memintanya sholat Subuh (jika dia bangun setelah saya selesai sholat Subuh).
Hari ini dia bangun setelah saya selesai sholat Subuh. Setelah urut-urutan itu disampaikan, dia berkomentar begini, "Mi, Kakak tahu lagu Bangun tidur. Tapi di lagunya ga ada disuruh sholat Subuh." Hahaha. . .
Coba kita simak. Lagu bangun tidur itu isinya begini:
Bangun tidur 'ku terus mandi
Tidak lupa menggosok gigi
Habis mandi kutolong Ibu
Membersihkan tempat tidurku.
Waaah. . . Lagunya mesti diganti nih. Jadi begini:
Bangun tidur 'ku baca doa
Lalu aku mengambil wudhu.
Habis wudhu 'ku sholat Subuh
Tidak lupa membantu Ibu (yang ini dari Zahro kalimatnya, hehehe. . .)
Selamat berhari Ahad. . . Happy family time ^^
Bagaimana Berkomunikasi dengan Anak Usia Dini?
![]() |
Gambar diperoleh dari http://www.exclusivechildcare.com |
1. Tunjukkan penerimaan Anda yang sempurna terhadap anak. Caranya, tunjukkan antusiasme yang besar saat anak berbicara. Tampilkan sikap tubuh yang positif dan apresiasi apapun yang disampaikan anak. Dengan cara itu, anak akan merasa bahwa apapun yang ia sampaikan dihargai, dan rasa percaya dirinya untuk berkomunikasi akan semakin berkembang.
2. Dengarkan yang disampaikan anak dengan serius. Tinggalkan dulu aktivitas Anda. Anak tahu bahwa dia tidak diperhatikan 100% jika Anda mengatakan bahwa Anda mendengarkannya tetapi Anda sambil memandang layar handphone atau memencet-mencet tombol hp Anda. Untuk membuat komunikasi terus berjalan, ajukan pertanyaan terbuka kepada anak, misalnya: Lalu? Trus gimana? Habis itu?
3. Jangan lupakan kontak mata. Ini adalah bagian yang sangat penting dalam berkomunikasi dengana anak. Tubuh Anda jelas jauh lebih tinggi daripada anak. Karena itu, jangan buat anak Anda terpaksa mendongakkan kepalanya ketika berbicara dengan Anda, tetapi sejajarkanlah tubuh Anda dengan anak agar ia juga mudah memandang Anda.
4. Gunakan kata-kata yang sopan kepada anak, maka mereka juga akan terbiasa berkata sopan. Menggunakan kata-kata seperti tolong, maaf , terima kasih tidak hanya akan membuat mereka sopan tapi juga akan membuat mereka merasa dihargai.
5. Selalu gunakan kata-kata yang memotivasi mereka. Jangan pernah memutus semangat anak dengan mengatakan bahwa mereka tidak mampu/tidak bisa melakukan sesuatu. Selalu katakan bahwa Anda yakin bahwa insyaALLAH dia pasti bisa.
Komunikasi yang baik dan efektif pada anak usia dini insyaALLAH akan membuat anak tumbuh menjadi pribadi yang cerdas secara verbal, komunikatif dan percaya diri.
Selamat mencoba. . . :)
Jumat, 27 Desember 2013
-="Karena Kau Istimewa, Bu"=-
Sudah merupakan sunnatullaah bahwa jumlah perempuan ALLAH ciptakan lebih banyak daripada laki-laki, dan jumlah anak-anak di muka bumi ini lebih banyak daripada perempuan dewasa (baca: Ibu).
ALLAH Ta'ala telah pula fitrahkan bahwa anak-anak memiliki kedekatan fisik dan emosi cenderung lebih besar kepada Ibunya daripada ayahnya.
Maka maknanya,
ada peran penting dari sosok bernama "Ibu" bagi pembentukan jati diri anak.
Bila ingin anak-anak menjadi baik,
Maka tiada cara bagi Ibu,
melainkan dengan memperbaiki kualitas dirinya.
Bila mengharapkan anak-anak yang shalih/ah,
maka tiada cara bagi Ibu,
melainkan meminta kepada ALLAH agar menjadikan dirinya wanita shlihah,
dan penuhi syariatnya dengan berikhtiar 'tuk menjadi wanita sholihah.
Karena...
ALLAH ciptakan engkau istimewa, Bu.
Jogja,
Desember, 26 - 2013.
ALLAH Ta'ala telah pula fitrahkan bahwa anak-anak memiliki kedekatan fisik dan emosi cenderung lebih besar kepada Ibunya daripada ayahnya.
Maka maknanya,
ada peran penting dari sosok bernama "Ibu" bagi pembentukan jati diri anak.
Bila ingin anak-anak menjadi baik,
Maka tiada cara bagi Ibu,
melainkan dengan memperbaiki kualitas dirinya.
Bila mengharapkan anak-anak yang shalih/ah,
maka tiada cara bagi Ibu,
melainkan meminta kepada ALLAH agar menjadikan dirinya wanita shlihah,
dan penuhi syariatnya dengan berikhtiar 'tuk menjadi wanita sholihah.
Karena...
ALLAH ciptakan engkau istimewa, Bu.
Jogja,
Desember, 26 - 2013.
Minggu, 22 Desember 2013
Flowers Are Red
Lagu ini bukan karya saya, hehehe. Tetapi suka banget karena kritis dan semestinya menggelitik para guru dan orang tua jika meresapi maknanya.
"Pelangi itu berwarna-warni,
sinar mentari di pagi hari juga berwarna-warni,
lalu kenapa bunga harus berwarna merah dan daun harus berwarna hijau saja?"
Lesson learned yang dapat saya petik dari lagu ini. . . Amat penting bagi setiap orang tua dan/atau guru untuk mengapresiasi setiap proses belajar anak, karena setiap saat dalam kehidupan seorang anak hakikatnya adalah proses belajar. Imajinasi mereka masih bebas dan berwarna-warni. Izinkanlah untuk berkembang, jangan langsung kita sekat-sekat.
By : Zain Bhikha (Original lyrics by Harry Chapin)
A little boy went first day at school
He got some crayons and he started to draw
He put colors all over the paper
For colors was what he saw
The teacher said, "What you doin' young man?"
"I'm paintin' flowers, see?"
"Well this is not the time for art young man,
And anyway flowers are green and red.
There's a time for everything young man
a way it should be done
You've got to show concern for everyone else,
for you're not the only one."
And she said...
"Flowers are red
Green leaves are green
There's no need to see flowers any other way
than the way they always have been seen "
But the little boy said...
"There are so many colors in the rainbow
So many colors in the morning sun
So many colors in the flower and I see every one"
Well, the teacher said… "You're sassy.
There's a way that things should be
And you'll paint flowers the way they are
So repeat after me..."
She said,
"Flowers are red
Green leaves are green
There's no need to see flowers any other way
Than the way they always have been seen "
But the little boy said again...
"There are so many colors in the rainbow
So many colors in the morning sun
So many colors in the flower and I see every one"
Well, the teacher put him in a corner
She said… "It's for your own good…
And you won't come out 'til you get it right
responding like you should."
Well, finally he got lonely
Frightened thoughts filled his head
And he went up to that teacher
And this is what he said,
"Flowers are red, green leaves are green
There's no need to see flowers any other way
Than the way they always have been seen"
Well, time went by like it always does
he moved to another town
And the little boy went to another school
And this is what he found
The teacher there was smilin'
She said, "Painting should be fun
And there are so many colors in a flower
So let's paint everyone."
That little boy painted flowers
In neat rows of green and red
And when the teacher asked him "why",
this is what he said,
"Flowers are red, green leaves are green
There's no need to see flowers any other way
Than the way they always have been seen."
But there must still be a way to have our children say,
There are so many colors in the rainbow
So many colors in the morning sun
So many colors in the flower and I see every one
There are so many colors in the rainbow
So many colors in the morning sun
So many colors in the flower and I see every one.
"Pelangi itu berwarna-warni,
sinar mentari di pagi hari juga berwarna-warni,
lalu kenapa bunga harus berwarna merah dan daun harus berwarna hijau saja?"
Lesson learned yang dapat saya petik dari lagu ini. . . Amat penting bagi setiap orang tua dan/atau guru untuk mengapresiasi setiap proses belajar anak, karena setiap saat dalam kehidupan seorang anak hakikatnya adalah proses belajar. Imajinasi mereka masih bebas dan berwarna-warni. Izinkanlah untuk berkembang, jangan langsung kita sekat-sekat.
By : Zain Bhikha (Original lyrics by Harry Chapin)
A little boy went first day at school
He got some crayons and he started to draw
He put colors all over the paper
For colors was what he saw
The teacher said, "What you doin' young man?"
"I'm paintin' flowers, see?"
"Well this is not the time for art young man,
And anyway flowers are green and red.
There's a time for everything young man
a way it should be done
You've got to show concern for everyone else,
for you're not the only one."
And she said...
"Flowers are red
Green leaves are green
There's no need to see flowers any other way
than the way they always have been seen "
But the little boy said...
"There are so many colors in the rainbow
So many colors in the morning sun
So many colors in the flower and I see every one"
Well, the teacher said… "You're sassy.
There's a way that things should be
And you'll paint flowers the way they are
So repeat after me..."
She said,
"Flowers are red
Green leaves are green
There's no need to see flowers any other way
Than the way they always have been seen "
But the little boy said again...
"There are so many colors in the rainbow
So many colors in the morning sun
So many colors in the flower and I see every one"
Well, the teacher put him in a corner
She said… "It's for your own good…
And you won't come out 'til you get it right
responding like you should."
Well, finally he got lonely
Frightened thoughts filled his head
And he went up to that teacher
And this is what he said,
"Flowers are red, green leaves are green
There's no need to see flowers any other way
Than the way they always have been seen"
Well, time went by like it always does
he moved to another town
And the little boy went to another school
And this is what he found
The teacher there was smilin'
She said, "Painting should be fun
And there are so many colors in a flower
So let's paint everyone."
That little boy painted flowers
In neat rows of green and red
And when the teacher asked him "why",
this is what he said,
"Flowers are red, green leaves are green
There's no need to see flowers any other way
Than the way they always have been seen."
But there must still be a way to have our children say,
There are so many colors in the rainbow
So many colors in the morning sun
So many colors in the flower and I see every one
There are so many colors in the rainbow
So many colors in the morning sun
So many colors in the flower and I see every one.
Langganan:
Postingan (Atom)