Finally, tahun ini puteri kami akan bersua dengan usianya yang ke-7. Usia umum anak-anak di negeri kita memasuki gerbang baru jenjang pendidikan mereka, yaitu sekolah dasar. Setahun lebih yang lalu, ketika keluarga kami memutuskan untuk menjadi bagian dari pelaku homeschooling di negeri ini, kami tidak tahu akan sampai kapan akan melakukannya.
Waktu bergulir, setahun berlalu, enam tahun usia anak kami telah lebih setengah. Dia sudah percaya diri menjawab, "Aku homeschooling" jika ada yang bertanya dia sekolah di mana. Tetapi, sehari-hari dia melihat anak-anak tetangga berkemeja putih dan rok merah berangkat sekolah, mencangklong tas di bahu mereka. Sering saya bertanya, "Kakak pengen sekolah?" yang selalu dia jawab dengan, "Kakak suka homeschooling, tapi pengen ada temannya." Memang banyak teman-teman saya yang ingin menitipkan anak-anak mereka untuk belajar bersama kami. Tetapi selalu saya tegaskan, homeschooling menuntut keterlibatan langsung dari orangtua.
Akhir November 2014, sebelum suami saya berangkat ke Korea Selatan, kami bermusyawarah. Kami tawarkan kembali kepada ananda apakah dia ingin melanjutkan homeschooling atau masuk ke sekolah formal. Ketika itu dia menjawab, "Kalau homeschooling nggak ada temannya kakak mau sekolah aja." Akhirnya, kami sampai pada kesepakatan untuk menyekolahkan anak kami di sekolah formal tahun ajaran baru nanti.
Awal Januari 2015, saya ajak ananda untuk survey ke beberapa sekolah dasar. Ada dua sekolah yang dia minati. Pilihan akhirnya jatuh pada salah satu sekolah islam terpadu yang lokasinya tak terlalu jauh dari rumah kami. Di jeda waktu menunggu panggilan sekolah untuk observasi anak, saya mendapat undangan pertemuan dari Komunitas Homeschooling Muslim Nusantara (HSMN). Memang, sekalipun saya banyak masuk ke group-group homeschooling yang ada di facebook, tapi kami belum pernah sekalipun mengikuti aktivitas bersama karena seringkali tidak memungkinkan bagi kami mengikutinya (misal acara berupa camp).
Di pertemuan HSMN itu, alhamdulillah anak kami bertemu dengan seorang ananda shalihah yang seusia dia, Hazimah namanya. Saat itu juga mereka berteman. Tak menunda-nunda, saya dan ibunda Hazimah sepakat untuk bergerak bersama. Sejak itu, anak-anak kami bertemu tiga kali dalam sepekan, dua hari belajar apa saja (tahsin, bahasa, menggambar, mewarnai, menggunting, dll) dan satu hari belajar renang.
Dan. . . masya Allah dampaknya bagi ananda kami. Dia katakan kepada saya, "Mi, kakak mau homeschooling aja seterusnya." Pernyataan inilah sebenarnya yang saya tunggu-tunggu sejak lama. Tetapi masa depannya adalah miliknya, karena itu dia berhak menentukan di mana dan bagaimana dia ingin dididik. Kami sebagai orangtua hanya fasilitator saja.
Dan, inilah saya. Saya tetap menguji kesungguhannya. Saya tanya lagi, lagi, dan lagi tentang pilihannya, yang dengan tegas selalu dia jawab, "Kakak mau homeschooling aja." Saya katakan kepadanya, jika dia sudah memilih, maka dia harus bertanggungjawab pada pilihannya. Dia juga yang harus menyampaikan kepada eyang kakung dan eyang putrinya mengenai pilihan pendidikannya. Semuanya dia jawab dengan, "Iya."
Segera saya sampaikan keputusan ananda kepada suami, yang beliau sambut dengan hamdalah.
Bismillaah. . . semoga ALLAH mudahkan kami menjalaninya, the second step of our home education.
Djogdja, 25 Januari 2015
~eMJe~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar