Rabu, 11 Februari 2015

Menakar Kesiapan Anak Masuk Sekolah Dasar

gambar diambil dari clipartpanda.com
Case:
Lila masuk playgroup sebelum genap berusia 3 tahun. Masuk TK A usia kurang dari 4 tahun, dan TK B usia kurang dari 5 tahun. Tak terasa sebentar lagi sudah tahun ajaran baru. Sejumlah SD sudah mulai membuka pendaftaran siswa baru. Ayah dan bunda Lila merasa ragu mendaftarkan Lila ke SD, sebab di bulan Juli nanti usianya belum genap 6 tahun. Apakah usia Lila masih terlalu muda untuk masuk SD tahun ini? Apakah nanti Lila akan mengalami kesulitan jika masuk SD tahun ini? Tetapi bukankah Lila sudah terlampau lama di TK? Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di pikiran ayah-bundanya.

Meskipun merasa ragu, ayah-bunda Lila tetap melakukan survei ke beberapa sekolah dasar. Ternyata semua sekolah dasar swasta yang mereka kunjungi berkenan menerima siswa baru yang usianya belum mencapai 7 tahun, bahkan belum mencapai 6 tahun. Namun pihak sekolah mengemukakan bahwa nanti akan ada tes untuk mengetahui kesiapan anak masuk sekolah. Jika hasilnya siap, maka anak diterima. Jika belum siap, maka anak tidak bisa masuk ke sekolah tersebut. Ayah dan bunda Lila mengangguk-angguk setuju dengan prosedur tersebut, walau dalam hati masih bertanya-tanya, seperti apa sih yang dimaksud dengan siap masuk sekolah dasar? Apakah tanda siap masuk SD adalah kemampuan calistung? Ah, kalau hanya calistung, ayah dan bunda Lila sangat percaya diri. Lila sudah ikut les calistung sejak umur 4 tahun. Ayah dan bunda yakin dia pasti akan lulus.


Kenyataan pahit tentang tuntutan mampu calistung kepada anak usia dini
Kejadian di bawah ini benar-benar saya temui di sebuah TK:
  • Hari Senin di ruang kelas sebuah TK, anak-anak kecil berusia 4 tahun tampak sibuk menulis di buku garis-garis mereka. Ada tugas menyalin kalimat dari bu guru.
  • Hari Selasa mereka tampak membaca Iqro’. Satu per satu maju ke meja bu guru untuk dicek bacaannya.
  • Hari Rabu masih di ruangan itu, anak-anak tampak menghitung angka-angka.
  • Hari Kamis, di ruangan yang sama, anak-anak kecil itu riuh-rendah membaca kalimat-kalimat yang ditulis bu guru di papan tulis.
Sepanjang senin sampai kamis itu, sebagian kecil anak-anak itu tampak tekun mengerjakan tugas-tugas dari bu guru, khususnya anak perempuan. Tetapi anak laki-laki, tak berapa panjang konsentrasi mereka. Ada yang berlari, memanjat, berteriak, bahkan berguling-guling dengan sesama teman, tak lama setelah kelas dimulai. Di kelas sebelah – kelas anak yang lebih besar usianya, lebih parah keadaannya. Ibu guru bahkan sampai berteriak dari balik mejanya, meminta anak-anak untuk tenang.

  • Alhamdulillah, hari Jum’at tiba. Hari ini anak-anak memakai seragam olah-raga. Betapa ceria mereka mengikuti gerakan bu guru.
  • Hari sabtu, mereka lebih sumringah lagi, sebab hari ini mereka belajar menggunting, melipat kertas, menggambar, juga mewarnai.
Ketika saya bertanya kepada kepala sekolah mengapa porsi calistung di TK itu banyak sekali, begini jawaban beliau, “Kami serba-salah, Bu. Mengajarkan calistung sebenarnya bertentangan dengan prinsip dasar pendidikan anak usia dini. Tetapi setiap orangtua yang mendaftarkan anaknya pasti ingin kepastian bahwa anaknya lulus TK sudah bisa membaca. Kalau tidak maka mereka tidak jadi mendaftarkan anaknya sekolah di sini.”

Membaca, menulis, dan berhitung atau biasa dikenal dengan istilah calistung adalah sejumlah kemampuan yang biasanya dipersiapkan ayah-bunda sebelum anak masuk sekolah dasar. Jika perlu, selain sekolah, anak juga diikutsertakan les membaca. Masyarakat umum meyakini bahwa kemampuan calistung adalah modal keberhasilan pendidikan anak saat memasuki sekolah dasar. Anak yang sudah mahir calistung, diyakini akan mudah menuntaskan tugas-tugas di sekolahnya kelak.

Sah-sah saja jika anak usia dini, menjelang masuk sd disiapkan kemampuan calistung dengan metode yang menyenangkan bagi mereka. Tetapi patut menjadi perhatian kita bersama, bahwa keberhasilan seorang anak dalam mengikuti proses belajar di kelas, tidak cukup hanya dengan bekal kemampuan calistung. Anak juga memerlukan aneka kemampuan dan keterampilan lainnya, misalnya kemampuan beradaptasi, kemampuan bersosialisasi, kemampuan mengelola emosi, kemandirian, keberanian, juga kemampuan berkomunikasi.

Anak yang sudah mahir calistung namun belum mau berpisah dengan orangtua tentu akan menghambatnya mengikuti aktivitas belajar dengan baik. Anak yang sudah mahir calistung namun terhambat perkembangan sosialnya juga akan mengalami hambatan dalam berinteraksi di sekolah.


Apakah yang dimaksud dengan kesiapan masuk sekolah dasar?
Ada dua hal yang biasanya perlu diperhatikan sebelum anak masuk sekolah dasar, yaitu:
  1. kematangan masuk sekolah (school maturity
  2. kesiapan masuk sekolah (school readiness).
Kematangan mengacu pada pertumbuhan biologis yang perlu dicapai sebelum masuk sekolah, misalnya kematangan otak untuk memahami konsep membaca, menulis, menghitung, dan memahami sudut pandang orang lain. Kematangan tidak bisa dipercepat, karena sudah berproses sedemikian rupa secara alami. Biasanya anak matang secara biologis untuk memasuki sekolah dasar adalah pada usia 6 tahun. Karena itu pula yang dikatakan sebagai usia dini adalah usia 0-6 tahun. Secara fisiologis, pada usia 0-6 tahun otak kanan anak berkembang jauh lebih pesat. Sedangkan perkembangan pesat otak kiri baru dimulai sejak anak memasuki usia 7 tahun. Sedangkan sebagaimana kita ketahui, tuntutan pembelajaran di sekolah dasar umumnya lebih banyak melibatkan kemampuan otak kiri.

Kematangan secara biologis, selain ditunggu juga perlu didukung stimulasi. Stimulasi yang disajikan kepada anak akhirnya mewujudkan sebuah kesiapan. Perlu diingat bahwa stimulasi yang gencar, masif, dan intensif tidak akan bisa mempercepat kesiapan, sebab kesiapan memerlukan kematangan. Ada efek timbal balik antara nature (alami) dan nurture (stimulasi).

Kesiapan anak masuk sekolah dasar akan berbeda satu dengan yang lain, kapan akan dicapai. Hal ini sangat tergantung pada stimulasi yang diberikan dan kematangan yang dicapai. Sama halnya seorang anak yang berusia 6 bulan jika dipaksa untuk bisa berbicara pasti belum bisa karena organ-organ verbalnya belum matang. Tetapi mungkin saja ada anak usia 24 bulan belum mengeluarkan kata pertama karena kurang stimulasi.

Aspek-aspek Perkembangan Anak
Secara umum, ada empat aspek perkembangan anak yang kesemuanya semestinya berkembang optimal saat mempertimbangkan untuk mendaftarkan anak masuk SD. Orangtua bisa mengamati perkembangan ini dengan mengamati anak sehari-hari. Perkembangan tersebut antara lain:
1. Perkembangan Fisik dan Motorik
Untuk perkembangan motorik, berkaitan dengan kesiapan masuk sd orangtua perlu melihat bagaimana kematangan motorik halus anak. Kemampuan motorik halus akan mempengaruhi kemampuan anak menulis. Banyak aktivitas-aktivitas sederhana yang bisa diterapkan orangtua untuk melatih motorik halus anak, misalnya: menggunting, menempel, mewarnai, melipat, menggambar, menebalkan garis, dll. Orangtua juga perlu mengamati kemampuan anak memegang alat tulis dengan tepat.
2. Perkembangan Sosial
Kemampuan sosial akan mempengaruhi interaksi anak dengan teman sebayanya atau yang lebih tua darinya, misalnya guru atau kakak kelas. Amati apakah anak mudah beradaptasi dengan lingkungan sosial baru, apakah anak mudah memulai pertemanan, dan bagaimana kemampuan anak menyelesaikan konflik dengan teman sebaya.
3. Perkembangan Emosi
Anak-anak yang hendak memasuki jenjang sekolah dasar perlu memiliki kematangan emosi yang baik. Model pembelajaran di sekolah dasar tentu berbeda jauh dengan saat anak masih di TK. Jumlah jam belajar, tingkat kesulitan pelajaran, dan tugas-tugas pasti mempengaruhi mood anak. Misal saat TK anak hanya belajar dari jam 8 sampai 10, ternyata di sekolah dasar anak harus belajar dari jam 7.30 sampai 12. Contoh lainnya saat TK anak banyak melakukan aktivitas otak kanan, misal bermain, bernyanyi, menggambar, mewarnai, menari. Tetapi di sekolah dasar anak banyak melakukan aktivitas yang melibatkan otak kiri.Orangtua perlu mengamati kematangan emosi anak dalam menghadapi perubahan ritme dari TK ke SD.
4. Perkembangan Kognitif (intelektual)
Perkembangan kognitif tentu saja merupakan modalitas belajar. Perkembangan inilah yang sejak awal saya uraikan dalam tulisan ini. Perkembangan kognitif merupakan salah satu faktor penting yang akan mempengaruhi kemampuan anak dalam menyerap pembelajaran di sekolah.

Keempat aspek perkembangan tersebut perlu terpenuhi secara keseluruhan, karena satu sama lain akan saling menguatkan keberhasilan anak mengikuti aktivitas belajar di sekolah dasar.

Nah, para orangtua yang mempunyai anak-anak di TK B, bagaimana kesiapan masuk SD ananda?


Oleh: Miftahul Jannah, M.Psi., Psi*
*Educational Psychologist, Children's Activity Books Writer

Selasa, 10 Februari 2015

Cooking Class: Carrot Cheese Cake ala Zahro

Sejak membeli kompor gas portable tiga pekan lalu, dengan pengantar bahwa kompor gas itu buat dia belajar masak, hampir tiap hari kakak Zahro minta diadakan cooking class. Syukurlah dia sangat menikmati aktivitas bernama siang-menyiangi. Semacam memetik atau memotong sayuran pasti dia buru. "Kakak aja!" kira-kira begitu deh seruannya kalau saya mau menyiangi sayuran.

Kalau memasak pake kompor gas portable itu, biasanya kita pasang di teras samping, menghadap taman. Mantap, kan? Macam liburan aja, hahaha. . .

Masakan pertamanya adalah sayur bening bayam, Esoknya dia minta bikin nutrijell. Setelah itu dia pengen bikin salad wortel yang diparut memanjang lalu dikasih topping mayonaise. Kemudian dia pengen masak sayur jagung putren. Positifnya ngikutin semangat masak-masaknya ini adalah dia jadi ngerasa bertanggungjawab buat ngabisin hasil jerih payahnya sendiri. Sambil dikomporin ummi, "Masakan paling enak adalah yang kita masak sendiri, Kak," hahaha. . .

Dan. . . gegara salad wortel, kak Zahro mendeklarasikan bahwa dia adalah penggemar wortel. Dengan pe-er kudu mencarikan masakan sederhana yang bisa dipraktekkan Zahro, ummi pun searching resep olahan wortel untuknya. Dan terpikirlah untuk membuat carrot cake.
"Emang wortel bisa dijadikan kue? Itu kan sayur?" tanyanya tak langsung percaya waktu ummi menawarkan buat bikin kue wortel. Setelah yakin bahwa ada kue yang bernama kue wortel, kami pun sepakat untuk mengeksekusinya.

So, pagi ini setelah beberes kamar, kami bergegas terbang ke dapur. Alhamdulillaah everything yang dibutuhkan ready. Most of the processes bikin kue wortel ini Zahro sendiri yang mengerjakan, mulai dari marut wortel, timbang tepung, gula, margarin, kocok adonan, sampai nuang adonan ke loyang. Ummi ngarah-ngarahin doang sambil sesekali bantuin kalo dia tampak kepayahan. Plus masukin loyang ke oven tentunya. Masih belum berani bangetlah ngelepas anak menghadapi api.



And, alhamdulillah buat ummi hasilnya sangat memuaskan untuk ukuran koki cilik macam Zahro. Rasa kuenya juga ueeenak sebab kami cocolin keju ke dalam adonannya, hehehe.


Buat yang pengen nyoba bikin, ini resepnya:
Bahan:
175 gram terigu protein sedang
150 gram margarin
100 gram gula pasir
3 butir telur
1/2 sdt baking powder
100 gram wortel parut
50 gram cream cheese
Kismis

Cara memasak:
Kocok gula pasir + margarin sampai lembut
Masukkan telur satu per satu bergantian dengan tepung yang sudah dicampur baking powder
Masukkan cream cheese
Masukkan wortel
Masukkan ke dalam loyang yang sudah diolesi margarin
Taburi dengan kismis atau topping lain yang disukai
Oven sampai matang

Selamat mencoba. :-)

Hmm, besok masak apa lagi ya?^^

Djogdja, 10022015
~eMJe~



Senin, 09 Februari 2015

Learning, We Can Make It Simple

Saya mafhum, salah satu sumber kerisauan orangtua yang berminat menjadi praktisi homeschooling adalah kurikulum, jadwal belajar, dan materi pelajaran. Kami pun pernah mengalaminya. Rasa bahwa anak harus belajar sesuatu yang jelas setiap hari. Anggapan diri bahwa anak baru dinamakan berlajar jika dia duduk dengan kertas dan pulpen/pensil ada di depannya. Hal-hal semacam itu.

Saya baru merasa tenang setelah dikuatkan, bahwa homeschooling bukanlah memindahkah sekolahan ke rumah. Jadwal pelajaran kita tidak harus sesaklek jadwal pelajaran di sekolah. Demikian pula materi pelajarannya, kita sesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan anak saja. Apalagi jika anak masih berusia dini, kita hanya perlu berpegang teguh pada prinsip learning by playing, lalu merancang kegiatan yang seru dengan prinsip itu.

Kadangkala, ide beraktivitas seru itu bisa datang tiba-tiba. Asalkan kita sudah punya mindset, bahwa kita bisa memetik pelajaran dari mana saja dan bisa belajar dari aktivitas apa saja. Insya Allah, ide-ide segar akan muncul seolah-olah begitu saja, tuing. . . tuing, hehehe. . .

Gambar di bawah ini salah satunya, aktivitas belajar yang bermula dari ketidaksengajaan.



Awalnya, anak saya sedang membolak-balik kisah-kisah moral berbahasa Inggris. Lantas dia membacanya sesuka hatinya. Tentu saja terdengar lucu jadinya. Saya sampai terbahak-bahak dibuatnya. Lalu saya memintanya membaca satu cerita utuh, sembari saya membenarkan pengucapan setiap kata yang dia baca. Ternyata dia sangat senang dengan pengalaman baru itu, bahwa dalam bahasa Inggris, tidak semua kata dibaca sesuai dengan yang tertulis.

Kemudian saya bertanya pada anak saya apakah dia ingin tahu apa sebenarnya isi cerita itu? Dan dia ingin mengetahuinya. Lalu saya maknai cerita itu.  Secara garis besar, cerita itu tentang rasa bersyukur dan berterima kasih. Lantas saya minta anak saya mengulangi pemaknaan yang saya sampaikan. Kemudian makna cerita itu kami diskusikan bersama. Nah, bisa dilihat kan, dari sesuatu yang sederhana bahkan tak sengaja, berapa banyak hal yang telah kami pelajari?

Mengambil inspirasi dari pelafalan kata bahasa Inggris, saya berinisiatif mengenalkan bentuk tertulis angka dalam bahasa Inggris pada anak saya. Sejauh ini, anak saya sudah tahu melafalkan one to ten, tapi dia belum tahu bagaimana sebenarnya lafal itu dalam bentuk tulis. Maka jadilah orat-oret di gambar yang saya lampirkan di atas. Dari orat-oret sederhana itu kami bermain kuis. Mulai dari melafalkan urut one to ten sampai saya bertanya acak, misal "Bahasa Inggris delapan?", "Lima?" "Empat?", dan seterusnya. Alhamdulillah dalam satu sesi bermain dia sudah mulai bisa melafalkan angka berbahasa Inggris dengan stimulus acak. 

So, demikianlah kira-kira contoh menyederhanakan bentuk belajar dan menemukan materi belajar yang menarik dan menyenangkan untuk anak-anak kita. Semoga Allah mudahkan kita menemukan cara-cara belajar seru dan menyenangkan lainnya. Happy learning. ^^

Zahro's HS Journal
Djogdja, 09022015
~eMJe~

Selasa, 03 Februari 2015

"Nggak Boleh Beli Pakai Uang Orang Lain": Sebuah Pendidikan Karakter

gambar diambil dari: http://shapreschool.org/
Kini, kata homeschooling terdengar sangat seksi dan menarik perhatian para orangtua. Tidak hanya
orangtua yang memiliki anak-anak usia sekolah, tetapi juga orangtua yang memiliki anak usia bayi, batita dan balita. Banyak yang bertanya kepada saya tentang apa yang sebaiknya diajarkan kepada anak usia dini mereka, bahkan menanyakan kurikulum apa yang bisa disusun untuk anak-anak yang masih berusia setahun-dua tahun.

Selalu saya katakan, jawabannya adalah TAUHID, AKHLAQ, & ADAB. Pendidikan tauhid akan menjadikan anak-anak kita mengenal penciptanya, pemiliknya, pemberi segala kesenangan dan kebahagiannya. Dia akan pandai bersyukur, mampu mengikat makna atas penciptaan semesta. Lanjutannya dia akan mengenal dan akrab dengan ibadah. Pendidikan akhlaq akan menjadikan anak-anak kita sosok-sosok yang cerdas secara sosial, mapan dalam bergaul, berkarakter. Pendidikan adab akan mengenalkannya kepada sunnah, manner sebagai seorang muslim/ah. Bagaimana seorang muslim/ah makan dan minum, tidur, berpakaian, keluar rumah, naik kendaraan, masuk dan keluar kamar mandi, sangat penting dan mendasar. Itulah yang terpenting untuk ditanamkan kepada anak-anak kita. Stimulasi lainnya? Cukup dengan bermain, karena dengan bermainlah anak usia dini belajar sesuatu.

Pendidikan nilai yang kita tanamkan kepada anak akan terbukti jika anak kita berinteraksi dengan orang lain. Pengalaman kami baru-baru ini menjadi buktinya. Suatu hari saya meminta tolong dibelikan sesuatu kepada asisten rumah tangga kami ke warung dekat rumah. Anak saya meminta ikut menemani. Saya ijinkan. Setiba di rumah, dia menunjukkan sebungkus cokelat dengan sumringah. Sebenarnya nilai cokelat itu tidaklah seberapa, tetapi bukan di situ poin pentingnya. Yang utama adalah, dia hanya meminta ijin untuk menemani, tidak meminta ijin untuk dibelikan apa-apa. Saat itu saya sadari, ada pendidikan nilai (baru) yang harus saya tanamkan kepadanya.

Saya tidak mengijinkan anak saya memakan cokelat itu. Saya tegaskan kepadanya bahwa saat meminta ijin, dia hanya meminta ijin untuk menemani, maka dia harus menepatinya. Anak saya tampak kaget dengan reaksi saya. Tetapi dia tidak mengajukan reasoning apapun.
Dengan wajah sedih dia bertanya, "Lalu permennya?"
"Silakan kakak sedekahkan," jawab saya.
Akhirnya permen itu dia berikan kepada asisten rumah tangga kami (yang mempunyai anak usia 5 tahun). Saya lantas mengajak anak saya ke kamar, seperti biasa, mendiskusikan pengalaman baru kami. Saya sampaikan kepadanya, bukan permennya yang menjadi bagian dari pembelajaran kali ini, sebab seandainya tadi dia meminta ijin untuk dibelikan sesuatu, insya Allah saya pasti mengijinkan.

Sebenarnya saat itu bisa saja saya menoleransi, "Ah, cuma cokelat kecil saja, harganya tak seberapa." Tetapi bisa jadi ada konsekuensi besar dari toleransi saya, anak saya akan terbiasa meminta dibelikan ini-itu kepada siapa saja yang mengajaknya ke warung, swalayan, atau lokasi belanja mana saja.

Dan benar, beberapa hari setelah kejadian tersebut, adik ipar saya mengajak anak saya (dan anaknya) pergi ke sebuah swalayan. Sepulang dari sana, adik ipar saya bercerita bahwa ketika dia menawarkan ini-itu kepada anak saya, dia menjawab, "Enggak usah, nggak boleh beli-beli pakai uang orang lain." Rasanya saya ingin menangis sambil tertawa mendengar cerita adik ipar saya. Demikian apa adanya anak saya menangkap makna dari pesan saya tentang menepati ijin, sampai-sampai omnya sendiri dia anggap "orang lain." Tetapi saya bersyukur, ada sebuah nilai (lagi) yang tertanam di dirinya.

Sungguh, sang pendidik bukanlah kita (orangtua). Anak-anak kitalah yang senantiasa menghadirkan pembelajaran baru bagi kita, untuk terus berusaha menjadi orangtua yang lebih baik lagi. Wallahua'alam.


Djogdja, 03022015
~eMJe~







Mengapa Saya Harus Menulis?


Belakangan ini, kegiatan menulis semakin diminati masyarakat. Tak hanya mereka yang bergelut di dunia sastra dan bahasa, minat menulis juga merambah ke beragam profesi lainnya, bahkan ibu rumah tangga. Tak hanya orang dewasa, kesempatan menulis di penerbit besar juga terbuka bagi anak-anak. Sekarang, profesi penulis seolah memiliki prestise tersendiri. Orang-orang bangga jika di profil pribadi akun sosial medianya tertulis indah, profesi: penulis.


Mengapa Kita Harus Menulis?
Ada banyak alasan yang membuat kita pantas menjadikan menulis sebagai bagian dari aktivitas kita.
  • Menulis itu mengekalkan pengalaman, dan membuat yang biasa tampak istimewa. Setiap kejadian yang kita alami, semua pemandangan yang kita lihat, orang-orang yang kita temui. Hal-hal yang tampaknya biasa kita lihat sehari-hari akan menjadi seni yang indah apabila kita tuturkan dalam tulisan, seolah-olah semuanya baru pertama kali kita lihat.
  • Menulis akan membuat nama kita hidup lebih lama. Jika secara fisik kita tidak bisa hidup selamanya, bukankah boleh saja jika kenangan kita hidup lebih lama? Karya tulis adalah salah satu cara merealisasikannya. 
  • Dengan menulis, kita memberikan sesuatu untuk dunia. Konsumsi masyarakat dunia saat ini adalah yang terbesar dalam sejarah dunia, baik konsumsi makanan, hiburan, hingga informasi. Menulis bisa menjadikan kita mengurangi konsumsi kita, dan sebaliknya kita “membuat” sesuatu, lalu membaginya pada dunia.
  • Kita menulis untuk mengikat makna dan memberi makna. V. Frankl, seorang psikiater mengatakan bahwa pencarian utama manusia bukanlah kesenangan atau kebahagiaan, melainkan makna hidup, menulis adalah sarana bagi individu untuk menemukan makna bagi diri sendiri dan membantu orang lain menemukan makna.

Setiap orang pasti punya alasan pribadi yang unik ketika mereka memutuskan untuk menulis, diantaranya:
  • menyalurkan hobi, 
  • berbagi ilmu dan pengalaman pada sesama/aktualisasi diri,
  • berdakwah,
  • mengisi waktu luang dengan kegiatan positif,
  • releasing stress (mengurangi beban pikiran)
  • beropini dan menyalurkan imajinasi,
  • murah-meriah, nggak butuh banyak modal, suka-suka kapan melakukannya,
  • bisa menambah penghasilan ibu-ibu.
  • sebagai profesi. 
Dian Kristiani dalam bukunya Momwriter’s Diary menyatakan bahwa sejak memutuskan untuk total di dunia tulis menulis, beliau ingin menjadi professional, mengandalkan menulis sebagai mesin pencari nafkah. Bagaimana dengan Anda?

Minat VS Bakat
Apakah Anda berminat menjadi menulis? Sudahkah Anda mulai menulis? Ada banyak alasan seseorang “belum” juga mulai menulis, sekalipun ia sangat berminat. Salah satu yang sering dijadikan kambing hitam adalah bakat.
“Aku nggak bakat nulis, nggak mungkin jadi penulis.”
“Di keluarga guwe nggak mengalir darah penulis.”
“Pengen banget nulis, tapi. . . bla. . . bla. . . bla. . .”
Bakat merupakan suatu potensi atau kemampuan khusus dan lebih dominan dimiliki seseorang, yang dapat berkembang melalui proses latihan dan pendidikan intensif. Tetapi bakat hanya menyumbang 1% terhadap keberhasilan, sedang 99% adalah sumbangan minat, latihan, usaha, kerja keras, dan pengalaman.

Untuk menjadi seorang penulis, sesungguhnya tidak dibutuhkan bakat khusus. Setiap orang, bisa menulis. Apa pun latar belakangnya. Bukankah setiap kita adalah pencerita? Bukankah setiap hari, setiap waktu, misal ketika kita ketemu teman, saudara, kakak, adik, orangtua, kita pasti berbincang yang sesungguhnya sebagian besar isinya adalah cerita? Artinya, setiap kita sesungguhnya adalah pencerita. Hanya saja kita ditantang untuk menuangkan cerita kita tidak hanya secara lisan, melainkan tulisan.

Iwok Abqary mengatakan bahwa sebenarnya ketika seseorang sudah tertarik untuk belajar menulis, itu adalah modal yang cukup untuk memulai. Masalahnya, apakah modal tersebut bisa ditindaklanjuti dengan proses belajar yang konsisten atau tidak. Jika belajar menulis hanya sekedar iseng, atau tidak diseriusi dengan kegigihan untuk maju, hasilnya pun tidak akan maksimal. Orang yang mau belajar dan ingin berhasil pasti akan gigih, mencari tahu banyak hal, banyak membaca referensi, banyak bertanya pada penulis lainnya. Banyak faktor penting selain bakat yang dapat mendukung kemampuan seseorang menghasilkan karya tulis. Faktor penting apa yang Anda miliki?

Bagaimana Menumbuhkan dan Menjaga Motivasi Menulis?
  1. Beragam tips kepenulisan dapat kita akses dengan mudah, baik di buku, tabloid, koran, majalah, atau internet. Satu yang pasti, jika Anda ingin menjadi penulis, mulailah dengan MENULIS. Tulislah apapun yang bisa Anda tulis. Ketika Anda berkata pada diri sendiri bahwa Anda tidak tahu harus menulis apa, tulislah tentang ketidaktahuan itu. Itu saja telah membuat Anda memulai proses membiasakan diri menulis sesuatu. Sebab menulis adalah sebuah keterampilan, maka harus dilatih dengan cara rajin menulis.
  2. Setelah terbiasa menulis, rajin-rajinlah membaca dan menyerap ilmu pengetahuan dari mana saja. Seseorang yang cinta membaca belum tentu berminat menulis, tetapi seseorang yang berminat menulis, maka harus banyak membaca.
  3. Sekadar menulis sebenarnya gampang. Lihat saja betapa mudahnya kita menulis status di wall facebook atau berkicau di linimasa twitter. Tetapi menulis yang baik dan benar, tentu tidak gampang. Kita memerlukan amunisi untuk memperbaiki kualitas tulisan kita, misal dengan mengikuti kelas-kelas kepenulisan, baik online maupun offline.
  4. Cari tahu bidang apa yang Anda minati. Ciri bahwa suatu bidang kita minati adalah rasa ingin tahu yang selalu muncul setiap kali membaca atau berinteraksi dengan bidang tersebut. Dalamilah bidang itu.
  5. Biasakan menulis setiap hari. Buat target pribadi, dengan jam atau jumlah halaman. Bambang Irwanto menargetkan menulis satu cerpen setiap hari, demikian pula Dian Kristiani. Ada juga penulis yang menargetkan menulis 2-5 halaman setiap hari. Hitung saja, dengan konsistensi demikian Bambang Irwanto dan Dian Kristiani telah memiliki stok sekitar 30 cerita setiap bulan. Demikian pula penulis dengan target halaman, mereka menghasilkan 60-100 halaman setiap bulan. Jumlah itu telah layak untuk dijadikan sebuah buku.
  6. Rajin-rajinlah ke toko buku. Bayangkan betapa bahagianya jika di antara ratusan ribu buku di toko itu,buku yang Anda tulis terpajang di sana. Bayangkan ketika Anda menulis nama dan judul buku Anda di komputer pencari dan nama Anda keluar di daftar yang ready stock. Anda juga bisa menemukan inspirasi menulis dengan rajin berkunjung ke toko buku.
  7. Tidak perlu sempurna untuk yang pertama. Hampir semua penulis yang saya kenal mengatakan tulislah apapun yang ada di benak Anda tanpa perlu memikirkan benar-salah, perkara diksi, bahkan tanda baca. Setelah itu endapkan tulisan Anda beberapa hari, lalu baca kembali. Maka Anda akan membacanya dengan pandangan baru dan dapat melakukan swasunting ­(self-editing).
  8. Berikan penghargaan pada diri sendiri jika usaha Anda dalam dunia tulis menulis menghasilkan, misal tulisan Anda dimuat di media atau naskah Anda dilirik penerbit.
  9. Jadikan berbagai kesulitan dalam menulis sebagai tantangan, bukan hambatan. Kritik adalah anak tangga menuju kesuksesan, guru terbaik untuk menyempurnakan tulisan kita.
  10. Jalinlah hubungan baik dengan berbagai pihak yang dapat mendukung minat menulis, misal orang-orang yang terlibat di dunia penerbitan buku. Anda juga bisa bergabung dengan komunitas-komunitas kepenulisan.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhhu, dia mengatakan:

“ Tidak ada seorang pun dari sahabat Nabi SAW yang memiliki hadits lebih banyak daripadaku, kecuali apa yang ada pada ‘Abdullah bin ‘Amr, karena sesungguhnya dia menulis, sementara aku tidak menulis.”

Ilmu adalah buruan dan tulisan adalah ikatannya.
Ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat.
Termasuk kebodohan jika kamu memburu kijang, 
setelah itu kamu tinggalkan terlepas begitu saja.
(Imam Syafi’I rahmatullahu’alaih)


“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.“
(Pramoedya Ananta Toer)





Referensi:
Akhiles, E. 2013. Silabus Menulis Fiksi dan Nonfiksi. Jogjakarta: Diva Press.
Khalida, P & Mastuti, I. 2012. Bukan Buku Best Seller. Jogjakarta: Pena Matahari.
Kristiani, D. 2014. Momwriter’s Diary. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.



Internet
“Motivasi Menulis”
http://menuliskreatif.com/2013/11/belajar-menulis-dengan-menulis/

“Why We Write: Four Reasons”
http://thewritepractice.com/why-we-write/

“Make Time to Write: 10 Tips for Daily Writing”
http://www.writersdigest.com/tip-of-the-day/make-time-to-write-10-tips-for-daily-writing



*Miftahul Jannah, M.Psi., Psi. adalah seorang psikolog pendidikan, praktisi homeschooling, peminat parenting, dan penulis bacaan anak, khususnya buku-buku aktivitas untuk anak usia dini.