Sabtu, 30 Mei 2015

Homeschooling Journal: Coloring, Cutting & Gluing Activity

Seorang sahabat saya pernah berkata, "Supaya anak bisa menulis rapih itu, salah satu caranya adalah dengan melatih keterampilan motorik halusnya."

Lalu, motorik halus itu apa sih?
Motorik halus adalah koordinasi otot-otot kecil, yang biasanya melibatkan sinkronisasi tangan dan jari-jari dengan mata. Menulis merupakan tingkat keterampilan motorik halus yang tinggi, istilahnya fine-fine motor skills. Nantinya, menulis merupakan kemampuan motorik halus yang sangat penting dalam proses belajar ananda.

Di usia yang lebih dini, banyak sekali bentuk-bentuk aktivitas motorik halus yang menarik dan menyenangkan yang bisa dilakukan ananda bersama orangtua, misalnya: bermain corat-coret di beragam media, fingerpaints, menjumput benda-benda kecil dengan jempol dan telunjuk, menggunting, menempel, mewarnai, meronce, mengikat tali, memasang kancing baju atau resleting, daaaaaaaan masih banyak lagi.

Anak saya sangat senang dengan aktivitas menggunting. Hanya saja, sekadar menggunting kayaknya cuma menghasilkan sampah deh. Karena itu, saya coba hunting lembar aktivitas yang tak sekadar menggunting, tapi juga mewarnai dan menempel sekaligus. Sehingga hasil guntingannya nggak terbuang. :D

Di internet, cukup banyak kok lembar kerja motorik halus yang bisa kita unduh dengan gratis. Tinggal dicetak, lalu bisa dikerjakan, deh. Salah satunya yang kami jadikan aktivitas belajar kemarin.


Sumber gambar: http://kiboomukidssongs.com


Asyik menempel setelah mewarnai dan menggunting
Foto: dokumen pribadi

Stimulasi motorik halus sekaligus verbal

Oya, aktivitas mewarnai saya kembangkan lagi untuk belajar bahasa. Petunjuk warna di lembar aktivitas saya tulis di whiteboard dalam tiga bahasa: Indonesia - Inggris - Arab. Nah, sambil mewarnai, menggunting, dan menempel, anak juga menambah beberapa kosa kata dalam tiga bahasa.
Menguntungkan, bukan? :-)

Nah, ini dia hasilnya...
Cantik, ya? ^^

Dua ekor burung hasil coloring, cutting & gluing activity
Selamat mencoba, semuanya... ^^

~eMJe~
Zahro's Homeschooling Journal
29052015

Resume Tatsqif: Menghidupkan Hati Dengan Al-Qur'an

Bismillaah...

Alhamdulillaah... Beberapa waktu terakhir Allah beri saya taufik untuk mulai mencatat rapih materi tatsqif yang saya hadir di majelis itu. Rasanya sayang kalau saya simpan sendiri. Bukantah insya Allah akan lebih bermanfaat jika bisa dibaca sahabat-sahabat yang belum bisa hadir di majelis yang dimuliakan Allah?

Saya berazam, insya Allah jika Allah beri rizqi umur, keluangan waktu, dan keringanan langkah untuk menghadiri majelis ilmu, maka saya akan mencatatnya dan membagikannnya. Semoga catatan sederhana ini bermanfaat untuk saya dan untuk pembaca lainnya. Menjadi asbab hidayah untuk kita semua. Insya Allah niat mengamalkannya juga, ya...


Menghidupkan Hati Dengan Al-Qur'an

==========================
Oleh: Ustdz. Syathori Abdurrouf
==========================

Al-Qur'an telah dirancang Allah Ta'ala 'ada' dalam hati kita.
Sesungguhnya hati telah siap menerima pesan-pesan/nasihat-nasihat Al-Qur'an.
Hati ibarat badan, Al-Qur'an adalah ruhnya.
Jika di dalam hati tidak ada Al-Qur'an, ibarat badan tanpa ruh.
Bagaimanakah jika orang yang sudah mati dinasihati? Tentu tidak merespon. Demikian pula orang yang hatinya sudah mati, tidak akan merespon sebaik apapun nasihat. Ibarat murid yang belum menempatkan gurunya di hatinya, dia enggan mengerjakan apa yang diminta sang guru.
Hati yang hidup, adalah yang di dalamnya telah bersemayam Al-Qur'an yang mulia.
Al-Qur'an adalah sumber pedoman hidup. Orang yang hatinya mati adalah orang yang tidak mau menjadikan Al-Qur'an sebagai pedoman hidupnya.
Firman Allah Ta'ala:

"Thaahaa. Kami tidak menurunkan Al-Qur'an ini kepadamu agar kamu menjadi susah, tetapi sebagai tadzkirah (peringatan) bagi orang yang takut (kepada Allah)."
(QS. Thaahaa (20): 1-3)

Maknanya, tiadalah Al-Qur'an diturunkan melainkan untuk menjadi tadzkirah bagi kehidupan kita.
Bagaimana agar Al-Qur'an masuk ke dalam hati kita?
Yang membuat kita mentaati Al-Qur'an hakikatnya bukan diri kita sendiri, melainkan Allah Ta'ala.
Lakukanlah apa yang bisa kita lakukan, nanti Allah akan melakukan apa yang tidak bisa kita lakukan.
Proses memasukkan Al-Qur'an ke dalam hati, ibarat proses makan:
1. Ibarat makan, jika hendak makan, maka kita harus mau membuka mulut, mengunyah dan menelannya. Maka untuk memasukkan Al-Qur'an ke dalam hati, kita harus mau membuka hati.
Caranya?
- Belajar-mengajar Al-Qur'an
- membaca Al-Qur'an
- Menghafal Al-Qur'an

2. Ibarat makan, kita perlu tahu manfaat makanan yang kita makan. Demikian pula dengan Al-Qur'an. Kita perlu memahami Al-Qur'an dengan benar, agar tidak salah memahami Al-Qur'an.

Contoh:
Apakah kita sudah merasa mudah menginfakkan apa yang paling kita cintai?
Allah Ta'ala berfirman:

"Kalian tidak akan sampai pada kebajiakan yang sempurna (mendapat surga) sampai kalian menafkahkan yang paling kalian cintai." (QS. Ali Imran (3): 92)

Jika kita masih merasa berat menginfakkan yang paling kita cintai, artinya kita masih salah memahami Al-Qur'an, sebab berarti kita menolak surga.

Bagaimana kita membalas orang yang menyakiti/berbuat jahat kepada kita? Jika kita membalas perilaku buruk dengan perilaku buruk, berarti kita masih salah memahami Al-Quran. Sebab Allah Ta'ala berfirman:

"Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik..." (QS. Fushshilat (41):34)

Agar kita memahami Al-Qur'an dengan benar:
- Pelajari tafsir Al-Qur'an.
- Tafakkuri dan tadabburi.

3. Ibarat makan, setelah makanan kita telan dan masuk ke lambung, proses selanjutnya bukan lagi kuasa kita, melainkan kuasa Allah Ta'ala. Demikian juga, jika kita telah membuka hati untuk dimasuki Al-Qur'an, terus-menerus mempelajari dan memahami isi Al-Qur'an, maka Allah akan menjadikan hati kita hati yang bersih (qolbun salim)



-=Tatsqif pagi Masjid Nurul Islam, Yogyakarta=-
~09052015~


Jika ingin melihat Al-Qur'an Arabic: http://quran.com

Rabu, 11 Februari 2015

Menakar Kesiapan Anak Masuk Sekolah Dasar

gambar diambil dari clipartpanda.com
Case:
Lila masuk playgroup sebelum genap berusia 3 tahun. Masuk TK A usia kurang dari 4 tahun, dan TK B usia kurang dari 5 tahun. Tak terasa sebentar lagi sudah tahun ajaran baru. Sejumlah SD sudah mulai membuka pendaftaran siswa baru. Ayah dan bunda Lila merasa ragu mendaftarkan Lila ke SD, sebab di bulan Juli nanti usianya belum genap 6 tahun. Apakah usia Lila masih terlalu muda untuk masuk SD tahun ini? Apakah nanti Lila akan mengalami kesulitan jika masuk SD tahun ini? Tetapi bukankah Lila sudah terlampau lama di TK? Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di pikiran ayah-bundanya.

Meskipun merasa ragu, ayah-bunda Lila tetap melakukan survei ke beberapa sekolah dasar. Ternyata semua sekolah dasar swasta yang mereka kunjungi berkenan menerima siswa baru yang usianya belum mencapai 7 tahun, bahkan belum mencapai 6 tahun. Namun pihak sekolah mengemukakan bahwa nanti akan ada tes untuk mengetahui kesiapan anak masuk sekolah. Jika hasilnya siap, maka anak diterima. Jika belum siap, maka anak tidak bisa masuk ke sekolah tersebut. Ayah dan bunda Lila mengangguk-angguk setuju dengan prosedur tersebut, walau dalam hati masih bertanya-tanya, seperti apa sih yang dimaksud dengan siap masuk sekolah dasar? Apakah tanda siap masuk SD adalah kemampuan calistung? Ah, kalau hanya calistung, ayah dan bunda Lila sangat percaya diri. Lila sudah ikut les calistung sejak umur 4 tahun. Ayah dan bunda yakin dia pasti akan lulus.


Kenyataan pahit tentang tuntutan mampu calistung kepada anak usia dini
Kejadian di bawah ini benar-benar saya temui di sebuah TK:
  • Hari Senin di ruang kelas sebuah TK, anak-anak kecil berusia 4 tahun tampak sibuk menulis di buku garis-garis mereka. Ada tugas menyalin kalimat dari bu guru.
  • Hari Selasa mereka tampak membaca Iqro’. Satu per satu maju ke meja bu guru untuk dicek bacaannya.
  • Hari Rabu masih di ruangan itu, anak-anak tampak menghitung angka-angka.
  • Hari Kamis, di ruangan yang sama, anak-anak kecil itu riuh-rendah membaca kalimat-kalimat yang ditulis bu guru di papan tulis.
Sepanjang senin sampai kamis itu, sebagian kecil anak-anak itu tampak tekun mengerjakan tugas-tugas dari bu guru, khususnya anak perempuan. Tetapi anak laki-laki, tak berapa panjang konsentrasi mereka. Ada yang berlari, memanjat, berteriak, bahkan berguling-guling dengan sesama teman, tak lama setelah kelas dimulai. Di kelas sebelah – kelas anak yang lebih besar usianya, lebih parah keadaannya. Ibu guru bahkan sampai berteriak dari balik mejanya, meminta anak-anak untuk tenang.

  • Alhamdulillah, hari Jum’at tiba. Hari ini anak-anak memakai seragam olah-raga. Betapa ceria mereka mengikuti gerakan bu guru.
  • Hari sabtu, mereka lebih sumringah lagi, sebab hari ini mereka belajar menggunting, melipat kertas, menggambar, juga mewarnai.
Ketika saya bertanya kepada kepala sekolah mengapa porsi calistung di TK itu banyak sekali, begini jawaban beliau, “Kami serba-salah, Bu. Mengajarkan calistung sebenarnya bertentangan dengan prinsip dasar pendidikan anak usia dini. Tetapi setiap orangtua yang mendaftarkan anaknya pasti ingin kepastian bahwa anaknya lulus TK sudah bisa membaca. Kalau tidak maka mereka tidak jadi mendaftarkan anaknya sekolah di sini.”

Membaca, menulis, dan berhitung atau biasa dikenal dengan istilah calistung adalah sejumlah kemampuan yang biasanya dipersiapkan ayah-bunda sebelum anak masuk sekolah dasar. Jika perlu, selain sekolah, anak juga diikutsertakan les membaca. Masyarakat umum meyakini bahwa kemampuan calistung adalah modal keberhasilan pendidikan anak saat memasuki sekolah dasar. Anak yang sudah mahir calistung, diyakini akan mudah menuntaskan tugas-tugas di sekolahnya kelak.

Sah-sah saja jika anak usia dini, menjelang masuk sd disiapkan kemampuan calistung dengan metode yang menyenangkan bagi mereka. Tetapi patut menjadi perhatian kita bersama, bahwa keberhasilan seorang anak dalam mengikuti proses belajar di kelas, tidak cukup hanya dengan bekal kemampuan calistung. Anak juga memerlukan aneka kemampuan dan keterampilan lainnya, misalnya kemampuan beradaptasi, kemampuan bersosialisasi, kemampuan mengelola emosi, kemandirian, keberanian, juga kemampuan berkomunikasi.

Anak yang sudah mahir calistung namun belum mau berpisah dengan orangtua tentu akan menghambatnya mengikuti aktivitas belajar dengan baik. Anak yang sudah mahir calistung namun terhambat perkembangan sosialnya juga akan mengalami hambatan dalam berinteraksi di sekolah.


Apakah yang dimaksud dengan kesiapan masuk sekolah dasar?
Ada dua hal yang biasanya perlu diperhatikan sebelum anak masuk sekolah dasar, yaitu:
  1. kematangan masuk sekolah (school maturity
  2. kesiapan masuk sekolah (school readiness).
Kematangan mengacu pada pertumbuhan biologis yang perlu dicapai sebelum masuk sekolah, misalnya kematangan otak untuk memahami konsep membaca, menulis, menghitung, dan memahami sudut pandang orang lain. Kematangan tidak bisa dipercepat, karena sudah berproses sedemikian rupa secara alami. Biasanya anak matang secara biologis untuk memasuki sekolah dasar adalah pada usia 6 tahun. Karena itu pula yang dikatakan sebagai usia dini adalah usia 0-6 tahun. Secara fisiologis, pada usia 0-6 tahun otak kanan anak berkembang jauh lebih pesat. Sedangkan perkembangan pesat otak kiri baru dimulai sejak anak memasuki usia 7 tahun. Sedangkan sebagaimana kita ketahui, tuntutan pembelajaran di sekolah dasar umumnya lebih banyak melibatkan kemampuan otak kiri.

Kematangan secara biologis, selain ditunggu juga perlu didukung stimulasi. Stimulasi yang disajikan kepada anak akhirnya mewujudkan sebuah kesiapan. Perlu diingat bahwa stimulasi yang gencar, masif, dan intensif tidak akan bisa mempercepat kesiapan, sebab kesiapan memerlukan kematangan. Ada efek timbal balik antara nature (alami) dan nurture (stimulasi).

Kesiapan anak masuk sekolah dasar akan berbeda satu dengan yang lain, kapan akan dicapai. Hal ini sangat tergantung pada stimulasi yang diberikan dan kematangan yang dicapai. Sama halnya seorang anak yang berusia 6 bulan jika dipaksa untuk bisa berbicara pasti belum bisa karena organ-organ verbalnya belum matang. Tetapi mungkin saja ada anak usia 24 bulan belum mengeluarkan kata pertama karena kurang stimulasi.

Aspek-aspek Perkembangan Anak
Secara umum, ada empat aspek perkembangan anak yang kesemuanya semestinya berkembang optimal saat mempertimbangkan untuk mendaftarkan anak masuk SD. Orangtua bisa mengamati perkembangan ini dengan mengamati anak sehari-hari. Perkembangan tersebut antara lain:
1. Perkembangan Fisik dan Motorik
Untuk perkembangan motorik, berkaitan dengan kesiapan masuk sd orangtua perlu melihat bagaimana kematangan motorik halus anak. Kemampuan motorik halus akan mempengaruhi kemampuan anak menulis. Banyak aktivitas-aktivitas sederhana yang bisa diterapkan orangtua untuk melatih motorik halus anak, misalnya: menggunting, menempel, mewarnai, melipat, menggambar, menebalkan garis, dll. Orangtua juga perlu mengamati kemampuan anak memegang alat tulis dengan tepat.
2. Perkembangan Sosial
Kemampuan sosial akan mempengaruhi interaksi anak dengan teman sebayanya atau yang lebih tua darinya, misalnya guru atau kakak kelas. Amati apakah anak mudah beradaptasi dengan lingkungan sosial baru, apakah anak mudah memulai pertemanan, dan bagaimana kemampuan anak menyelesaikan konflik dengan teman sebaya.
3. Perkembangan Emosi
Anak-anak yang hendak memasuki jenjang sekolah dasar perlu memiliki kematangan emosi yang baik. Model pembelajaran di sekolah dasar tentu berbeda jauh dengan saat anak masih di TK. Jumlah jam belajar, tingkat kesulitan pelajaran, dan tugas-tugas pasti mempengaruhi mood anak. Misal saat TK anak hanya belajar dari jam 8 sampai 10, ternyata di sekolah dasar anak harus belajar dari jam 7.30 sampai 12. Contoh lainnya saat TK anak banyak melakukan aktivitas otak kanan, misal bermain, bernyanyi, menggambar, mewarnai, menari. Tetapi di sekolah dasar anak banyak melakukan aktivitas yang melibatkan otak kiri.Orangtua perlu mengamati kematangan emosi anak dalam menghadapi perubahan ritme dari TK ke SD.
4. Perkembangan Kognitif (intelektual)
Perkembangan kognitif tentu saja merupakan modalitas belajar. Perkembangan inilah yang sejak awal saya uraikan dalam tulisan ini. Perkembangan kognitif merupakan salah satu faktor penting yang akan mempengaruhi kemampuan anak dalam menyerap pembelajaran di sekolah.

Keempat aspek perkembangan tersebut perlu terpenuhi secara keseluruhan, karena satu sama lain akan saling menguatkan keberhasilan anak mengikuti aktivitas belajar di sekolah dasar.

Nah, para orangtua yang mempunyai anak-anak di TK B, bagaimana kesiapan masuk SD ananda?


Oleh: Miftahul Jannah, M.Psi., Psi*
*Educational Psychologist, Children's Activity Books Writer

Selasa, 10 Februari 2015

Cooking Class: Carrot Cheese Cake ala Zahro

Sejak membeli kompor gas portable tiga pekan lalu, dengan pengantar bahwa kompor gas itu buat dia belajar masak, hampir tiap hari kakak Zahro minta diadakan cooking class. Syukurlah dia sangat menikmati aktivitas bernama siang-menyiangi. Semacam memetik atau memotong sayuran pasti dia buru. "Kakak aja!" kira-kira begitu deh seruannya kalau saya mau menyiangi sayuran.

Kalau memasak pake kompor gas portable itu, biasanya kita pasang di teras samping, menghadap taman. Mantap, kan? Macam liburan aja, hahaha. . .

Masakan pertamanya adalah sayur bening bayam, Esoknya dia minta bikin nutrijell. Setelah itu dia pengen bikin salad wortel yang diparut memanjang lalu dikasih topping mayonaise. Kemudian dia pengen masak sayur jagung putren. Positifnya ngikutin semangat masak-masaknya ini adalah dia jadi ngerasa bertanggungjawab buat ngabisin hasil jerih payahnya sendiri. Sambil dikomporin ummi, "Masakan paling enak adalah yang kita masak sendiri, Kak," hahaha. . .

Dan. . . gegara salad wortel, kak Zahro mendeklarasikan bahwa dia adalah penggemar wortel. Dengan pe-er kudu mencarikan masakan sederhana yang bisa dipraktekkan Zahro, ummi pun searching resep olahan wortel untuknya. Dan terpikirlah untuk membuat carrot cake.
"Emang wortel bisa dijadikan kue? Itu kan sayur?" tanyanya tak langsung percaya waktu ummi menawarkan buat bikin kue wortel. Setelah yakin bahwa ada kue yang bernama kue wortel, kami pun sepakat untuk mengeksekusinya.

So, pagi ini setelah beberes kamar, kami bergegas terbang ke dapur. Alhamdulillaah everything yang dibutuhkan ready. Most of the processes bikin kue wortel ini Zahro sendiri yang mengerjakan, mulai dari marut wortel, timbang tepung, gula, margarin, kocok adonan, sampai nuang adonan ke loyang. Ummi ngarah-ngarahin doang sambil sesekali bantuin kalo dia tampak kepayahan. Plus masukin loyang ke oven tentunya. Masih belum berani bangetlah ngelepas anak menghadapi api.



And, alhamdulillah buat ummi hasilnya sangat memuaskan untuk ukuran koki cilik macam Zahro. Rasa kuenya juga ueeenak sebab kami cocolin keju ke dalam adonannya, hehehe.


Buat yang pengen nyoba bikin, ini resepnya:
Bahan:
175 gram terigu protein sedang
150 gram margarin
100 gram gula pasir
3 butir telur
1/2 sdt baking powder
100 gram wortel parut
50 gram cream cheese
Kismis

Cara memasak:
Kocok gula pasir + margarin sampai lembut
Masukkan telur satu per satu bergantian dengan tepung yang sudah dicampur baking powder
Masukkan cream cheese
Masukkan wortel
Masukkan ke dalam loyang yang sudah diolesi margarin
Taburi dengan kismis atau topping lain yang disukai
Oven sampai matang

Selamat mencoba. :-)

Hmm, besok masak apa lagi ya?^^

Djogdja, 10022015
~eMJe~



Senin, 09 Februari 2015

Learning, We Can Make It Simple

Saya mafhum, salah satu sumber kerisauan orangtua yang berminat menjadi praktisi homeschooling adalah kurikulum, jadwal belajar, dan materi pelajaran. Kami pun pernah mengalaminya. Rasa bahwa anak harus belajar sesuatu yang jelas setiap hari. Anggapan diri bahwa anak baru dinamakan berlajar jika dia duduk dengan kertas dan pulpen/pensil ada di depannya. Hal-hal semacam itu.

Saya baru merasa tenang setelah dikuatkan, bahwa homeschooling bukanlah memindahkah sekolahan ke rumah. Jadwal pelajaran kita tidak harus sesaklek jadwal pelajaran di sekolah. Demikian pula materi pelajarannya, kita sesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan anak saja. Apalagi jika anak masih berusia dini, kita hanya perlu berpegang teguh pada prinsip learning by playing, lalu merancang kegiatan yang seru dengan prinsip itu.

Kadangkala, ide beraktivitas seru itu bisa datang tiba-tiba. Asalkan kita sudah punya mindset, bahwa kita bisa memetik pelajaran dari mana saja dan bisa belajar dari aktivitas apa saja. Insya Allah, ide-ide segar akan muncul seolah-olah begitu saja, tuing. . . tuing, hehehe. . .

Gambar di bawah ini salah satunya, aktivitas belajar yang bermula dari ketidaksengajaan.



Awalnya, anak saya sedang membolak-balik kisah-kisah moral berbahasa Inggris. Lantas dia membacanya sesuka hatinya. Tentu saja terdengar lucu jadinya. Saya sampai terbahak-bahak dibuatnya. Lalu saya memintanya membaca satu cerita utuh, sembari saya membenarkan pengucapan setiap kata yang dia baca. Ternyata dia sangat senang dengan pengalaman baru itu, bahwa dalam bahasa Inggris, tidak semua kata dibaca sesuai dengan yang tertulis.

Kemudian saya bertanya pada anak saya apakah dia ingin tahu apa sebenarnya isi cerita itu? Dan dia ingin mengetahuinya. Lalu saya maknai cerita itu.  Secara garis besar, cerita itu tentang rasa bersyukur dan berterima kasih. Lantas saya minta anak saya mengulangi pemaknaan yang saya sampaikan. Kemudian makna cerita itu kami diskusikan bersama. Nah, bisa dilihat kan, dari sesuatu yang sederhana bahkan tak sengaja, berapa banyak hal yang telah kami pelajari?

Mengambil inspirasi dari pelafalan kata bahasa Inggris, saya berinisiatif mengenalkan bentuk tertulis angka dalam bahasa Inggris pada anak saya. Sejauh ini, anak saya sudah tahu melafalkan one to ten, tapi dia belum tahu bagaimana sebenarnya lafal itu dalam bentuk tulis. Maka jadilah orat-oret di gambar yang saya lampirkan di atas. Dari orat-oret sederhana itu kami bermain kuis. Mulai dari melafalkan urut one to ten sampai saya bertanya acak, misal "Bahasa Inggris delapan?", "Lima?" "Empat?", dan seterusnya. Alhamdulillah dalam satu sesi bermain dia sudah mulai bisa melafalkan angka berbahasa Inggris dengan stimulus acak. 

So, demikianlah kira-kira contoh menyederhanakan bentuk belajar dan menemukan materi belajar yang menarik dan menyenangkan untuk anak-anak kita. Semoga Allah mudahkan kita menemukan cara-cara belajar seru dan menyenangkan lainnya. Happy learning. ^^

Zahro's HS Journal
Djogdja, 09022015
~eMJe~

Selasa, 03 Februari 2015

"Nggak Boleh Beli Pakai Uang Orang Lain": Sebuah Pendidikan Karakter

gambar diambil dari: http://shapreschool.org/
Kini, kata homeschooling terdengar sangat seksi dan menarik perhatian para orangtua. Tidak hanya
orangtua yang memiliki anak-anak usia sekolah, tetapi juga orangtua yang memiliki anak usia bayi, batita dan balita. Banyak yang bertanya kepada saya tentang apa yang sebaiknya diajarkan kepada anak usia dini mereka, bahkan menanyakan kurikulum apa yang bisa disusun untuk anak-anak yang masih berusia setahun-dua tahun.

Selalu saya katakan, jawabannya adalah TAUHID, AKHLAQ, & ADAB. Pendidikan tauhid akan menjadikan anak-anak kita mengenal penciptanya, pemiliknya, pemberi segala kesenangan dan kebahagiannya. Dia akan pandai bersyukur, mampu mengikat makna atas penciptaan semesta. Lanjutannya dia akan mengenal dan akrab dengan ibadah. Pendidikan akhlaq akan menjadikan anak-anak kita sosok-sosok yang cerdas secara sosial, mapan dalam bergaul, berkarakter. Pendidikan adab akan mengenalkannya kepada sunnah, manner sebagai seorang muslim/ah. Bagaimana seorang muslim/ah makan dan minum, tidur, berpakaian, keluar rumah, naik kendaraan, masuk dan keluar kamar mandi, sangat penting dan mendasar. Itulah yang terpenting untuk ditanamkan kepada anak-anak kita. Stimulasi lainnya? Cukup dengan bermain, karena dengan bermainlah anak usia dini belajar sesuatu.

Pendidikan nilai yang kita tanamkan kepada anak akan terbukti jika anak kita berinteraksi dengan orang lain. Pengalaman kami baru-baru ini menjadi buktinya. Suatu hari saya meminta tolong dibelikan sesuatu kepada asisten rumah tangga kami ke warung dekat rumah. Anak saya meminta ikut menemani. Saya ijinkan. Setiba di rumah, dia menunjukkan sebungkus cokelat dengan sumringah. Sebenarnya nilai cokelat itu tidaklah seberapa, tetapi bukan di situ poin pentingnya. Yang utama adalah, dia hanya meminta ijin untuk menemani, tidak meminta ijin untuk dibelikan apa-apa. Saat itu saya sadari, ada pendidikan nilai (baru) yang harus saya tanamkan kepadanya.

Saya tidak mengijinkan anak saya memakan cokelat itu. Saya tegaskan kepadanya bahwa saat meminta ijin, dia hanya meminta ijin untuk menemani, maka dia harus menepatinya. Anak saya tampak kaget dengan reaksi saya. Tetapi dia tidak mengajukan reasoning apapun.
Dengan wajah sedih dia bertanya, "Lalu permennya?"
"Silakan kakak sedekahkan," jawab saya.
Akhirnya permen itu dia berikan kepada asisten rumah tangga kami (yang mempunyai anak usia 5 tahun). Saya lantas mengajak anak saya ke kamar, seperti biasa, mendiskusikan pengalaman baru kami. Saya sampaikan kepadanya, bukan permennya yang menjadi bagian dari pembelajaran kali ini, sebab seandainya tadi dia meminta ijin untuk dibelikan sesuatu, insya Allah saya pasti mengijinkan.

Sebenarnya saat itu bisa saja saya menoleransi, "Ah, cuma cokelat kecil saja, harganya tak seberapa." Tetapi bisa jadi ada konsekuensi besar dari toleransi saya, anak saya akan terbiasa meminta dibelikan ini-itu kepada siapa saja yang mengajaknya ke warung, swalayan, atau lokasi belanja mana saja.

Dan benar, beberapa hari setelah kejadian tersebut, adik ipar saya mengajak anak saya (dan anaknya) pergi ke sebuah swalayan. Sepulang dari sana, adik ipar saya bercerita bahwa ketika dia menawarkan ini-itu kepada anak saya, dia menjawab, "Enggak usah, nggak boleh beli-beli pakai uang orang lain." Rasanya saya ingin menangis sambil tertawa mendengar cerita adik ipar saya. Demikian apa adanya anak saya menangkap makna dari pesan saya tentang menepati ijin, sampai-sampai omnya sendiri dia anggap "orang lain." Tetapi saya bersyukur, ada sebuah nilai (lagi) yang tertanam di dirinya.

Sungguh, sang pendidik bukanlah kita (orangtua). Anak-anak kitalah yang senantiasa menghadirkan pembelajaran baru bagi kita, untuk terus berusaha menjadi orangtua yang lebih baik lagi. Wallahua'alam.


Djogdja, 03022015
~eMJe~







Mengapa Saya Harus Menulis?


Belakangan ini, kegiatan menulis semakin diminati masyarakat. Tak hanya mereka yang bergelut di dunia sastra dan bahasa, minat menulis juga merambah ke beragam profesi lainnya, bahkan ibu rumah tangga. Tak hanya orang dewasa, kesempatan menulis di penerbit besar juga terbuka bagi anak-anak. Sekarang, profesi penulis seolah memiliki prestise tersendiri. Orang-orang bangga jika di profil pribadi akun sosial medianya tertulis indah, profesi: penulis.


Mengapa Kita Harus Menulis?
Ada banyak alasan yang membuat kita pantas menjadikan menulis sebagai bagian dari aktivitas kita.
  • Menulis itu mengekalkan pengalaman, dan membuat yang biasa tampak istimewa. Setiap kejadian yang kita alami, semua pemandangan yang kita lihat, orang-orang yang kita temui. Hal-hal yang tampaknya biasa kita lihat sehari-hari akan menjadi seni yang indah apabila kita tuturkan dalam tulisan, seolah-olah semuanya baru pertama kali kita lihat.
  • Menulis akan membuat nama kita hidup lebih lama. Jika secara fisik kita tidak bisa hidup selamanya, bukankah boleh saja jika kenangan kita hidup lebih lama? Karya tulis adalah salah satu cara merealisasikannya. 
  • Dengan menulis, kita memberikan sesuatu untuk dunia. Konsumsi masyarakat dunia saat ini adalah yang terbesar dalam sejarah dunia, baik konsumsi makanan, hiburan, hingga informasi. Menulis bisa menjadikan kita mengurangi konsumsi kita, dan sebaliknya kita “membuat” sesuatu, lalu membaginya pada dunia.
  • Kita menulis untuk mengikat makna dan memberi makna. V. Frankl, seorang psikiater mengatakan bahwa pencarian utama manusia bukanlah kesenangan atau kebahagiaan, melainkan makna hidup, menulis adalah sarana bagi individu untuk menemukan makna bagi diri sendiri dan membantu orang lain menemukan makna.

Setiap orang pasti punya alasan pribadi yang unik ketika mereka memutuskan untuk menulis, diantaranya:
  • menyalurkan hobi, 
  • berbagi ilmu dan pengalaman pada sesama/aktualisasi diri,
  • berdakwah,
  • mengisi waktu luang dengan kegiatan positif,
  • releasing stress (mengurangi beban pikiran)
  • beropini dan menyalurkan imajinasi,
  • murah-meriah, nggak butuh banyak modal, suka-suka kapan melakukannya,
  • bisa menambah penghasilan ibu-ibu.
  • sebagai profesi. 
Dian Kristiani dalam bukunya Momwriter’s Diary menyatakan bahwa sejak memutuskan untuk total di dunia tulis menulis, beliau ingin menjadi professional, mengandalkan menulis sebagai mesin pencari nafkah. Bagaimana dengan Anda?

Minat VS Bakat
Apakah Anda berminat menjadi menulis? Sudahkah Anda mulai menulis? Ada banyak alasan seseorang “belum” juga mulai menulis, sekalipun ia sangat berminat. Salah satu yang sering dijadikan kambing hitam adalah bakat.
“Aku nggak bakat nulis, nggak mungkin jadi penulis.”
“Di keluarga guwe nggak mengalir darah penulis.”
“Pengen banget nulis, tapi. . . bla. . . bla. . . bla. . .”
Bakat merupakan suatu potensi atau kemampuan khusus dan lebih dominan dimiliki seseorang, yang dapat berkembang melalui proses latihan dan pendidikan intensif. Tetapi bakat hanya menyumbang 1% terhadap keberhasilan, sedang 99% adalah sumbangan minat, latihan, usaha, kerja keras, dan pengalaman.

Untuk menjadi seorang penulis, sesungguhnya tidak dibutuhkan bakat khusus. Setiap orang, bisa menulis. Apa pun latar belakangnya. Bukankah setiap kita adalah pencerita? Bukankah setiap hari, setiap waktu, misal ketika kita ketemu teman, saudara, kakak, adik, orangtua, kita pasti berbincang yang sesungguhnya sebagian besar isinya adalah cerita? Artinya, setiap kita sesungguhnya adalah pencerita. Hanya saja kita ditantang untuk menuangkan cerita kita tidak hanya secara lisan, melainkan tulisan.

Iwok Abqary mengatakan bahwa sebenarnya ketika seseorang sudah tertarik untuk belajar menulis, itu adalah modal yang cukup untuk memulai. Masalahnya, apakah modal tersebut bisa ditindaklanjuti dengan proses belajar yang konsisten atau tidak. Jika belajar menulis hanya sekedar iseng, atau tidak diseriusi dengan kegigihan untuk maju, hasilnya pun tidak akan maksimal. Orang yang mau belajar dan ingin berhasil pasti akan gigih, mencari tahu banyak hal, banyak membaca referensi, banyak bertanya pada penulis lainnya. Banyak faktor penting selain bakat yang dapat mendukung kemampuan seseorang menghasilkan karya tulis. Faktor penting apa yang Anda miliki?

Bagaimana Menumbuhkan dan Menjaga Motivasi Menulis?
  1. Beragam tips kepenulisan dapat kita akses dengan mudah, baik di buku, tabloid, koran, majalah, atau internet. Satu yang pasti, jika Anda ingin menjadi penulis, mulailah dengan MENULIS. Tulislah apapun yang bisa Anda tulis. Ketika Anda berkata pada diri sendiri bahwa Anda tidak tahu harus menulis apa, tulislah tentang ketidaktahuan itu. Itu saja telah membuat Anda memulai proses membiasakan diri menulis sesuatu. Sebab menulis adalah sebuah keterampilan, maka harus dilatih dengan cara rajin menulis.
  2. Setelah terbiasa menulis, rajin-rajinlah membaca dan menyerap ilmu pengetahuan dari mana saja. Seseorang yang cinta membaca belum tentu berminat menulis, tetapi seseorang yang berminat menulis, maka harus banyak membaca.
  3. Sekadar menulis sebenarnya gampang. Lihat saja betapa mudahnya kita menulis status di wall facebook atau berkicau di linimasa twitter. Tetapi menulis yang baik dan benar, tentu tidak gampang. Kita memerlukan amunisi untuk memperbaiki kualitas tulisan kita, misal dengan mengikuti kelas-kelas kepenulisan, baik online maupun offline.
  4. Cari tahu bidang apa yang Anda minati. Ciri bahwa suatu bidang kita minati adalah rasa ingin tahu yang selalu muncul setiap kali membaca atau berinteraksi dengan bidang tersebut. Dalamilah bidang itu.
  5. Biasakan menulis setiap hari. Buat target pribadi, dengan jam atau jumlah halaman. Bambang Irwanto menargetkan menulis satu cerpen setiap hari, demikian pula Dian Kristiani. Ada juga penulis yang menargetkan menulis 2-5 halaman setiap hari. Hitung saja, dengan konsistensi demikian Bambang Irwanto dan Dian Kristiani telah memiliki stok sekitar 30 cerita setiap bulan. Demikian pula penulis dengan target halaman, mereka menghasilkan 60-100 halaman setiap bulan. Jumlah itu telah layak untuk dijadikan sebuah buku.
  6. Rajin-rajinlah ke toko buku. Bayangkan betapa bahagianya jika di antara ratusan ribu buku di toko itu,buku yang Anda tulis terpajang di sana. Bayangkan ketika Anda menulis nama dan judul buku Anda di komputer pencari dan nama Anda keluar di daftar yang ready stock. Anda juga bisa menemukan inspirasi menulis dengan rajin berkunjung ke toko buku.
  7. Tidak perlu sempurna untuk yang pertama. Hampir semua penulis yang saya kenal mengatakan tulislah apapun yang ada di benak Anda tanpa perlu memikirkan benar-salah, perkara diksi, bahkan tanda baca. Setelah itu endapkan tulisan Anda beberapa hari, lalu baca kembali. Maka Anda akan membacanya dengan pandangan baru dan dapat melakukan swasunting ­(self-editing).
  8. Berikan penghargaan pada diri sendiri jika usaha Anda dalam dunia tulis menulis menghasilkan, misal tulisan Anda dimuat di media atau naskah Anda dilirik penerbit.
  9. Jadikan berbagai kesulitan dalam menulis sebagai tantangan, bukan hambatan. Kritik adalah anak tangga menuju kesuksesan, guru terbaik untuk menyempurnakan tulisan kita.
  10. Jalinlah hubungan baik dengan berbagai pihak yang dapat mendukung minat menulis, misal orang-orang yang terlibat di dunia penerbitan buku. Anda juga bisa bergabung dengan komunitas-komunitas kepenulisan.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhhu, dia mengatakan:

“ Tidak ada seorang pun dari sahabat Nabi SAW yang memiliki hadits lebih banyak daripadaku, kecuali apa yang ada pada ‘Abdullah bin ‘Amr, karena sesungguhnya dia menulis, sementara aku tidak menulis.”

Ilmu adalah buruan dan tulisan adalah ikatannya.
Ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat.
Termasuk kebodohan jika kamu memburu kijang, 
setelah itu kamu tinggalkan terlepas begitu saja.
(Imam Syafi’I rahmatullahu’alaih)


“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.“
(Pramoedya Ananta Toer)





Referensi:
Akhiles, E. 2013. Silabus Menulis Fiksi dan Nonfiksi. Jogjakarta: Diva Press.
Khalida, P & Mastuti, I. 2012. Bukan Buku Best Seller. Jogjakarta: Pena Matahari.
Kristiani, D. 2014. Momwriter’s Diary. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.



Internet
“Motivasi Menulis”
http://menuliskreatif.com/2013/11/belajar-menulis-dengan-menulis/

“Why We Write: Four Reasons”
http://thewritepractice.com/why-we-write/

“Make Time to Write: 10 Tips for Daily Writing”
http://www.writersdigest.com/tip-of-the-day/make-time-to-write-10-tips-for-daily-writing



*Miftahul Jannah, M.Psi., Psi. adalah seorang psikolog pendidikan, praktisi homeschooling, peminat parenting, dan penulis bacaan anak, khususnya buku-buku aktivitas untuk anak usia dini.

Minggu, 25 Januari 2015

Pengasuhan, Ibarat Menjaga Permata Titipan

Apabila seseorang yang begitu mulia dan sangat Anda hormati datang kepada Anda lalu berkata, "Kutitipkan padamu permata. Tolong kau jaga baik-baik. Suatu hari nanti akan kuambil kembali permata ini." Kira-kira, apakah Anda akan sungguh-sungguh menjaga permata titipan itu? Tentu saja, bukan? Sudahlah itu permata, yang menitipkan seseorang yang mulia dan sangat Anda hormati lagi. Mana mungkin Anda sembarangan dan seenak hati memperlakukan permata itu. Saya yakin Anda pasti akan menyimpannya di tempat yang istimewa dan memperlakukannya secara istimewa pula. Membalutnya dengan kain yang lembut, menempatkannya di tempat yang indah.

Sebenarnya, yang saya ibaratkan dengan permata tadi adalah anak-anak kita. Kita semua mengakui bukan bahwa anak-anak kita merupakan titipan ALLAH Ta'ala? Mereka bukan milik kita, melainkan milik ALLAH Ta'ala. Dialah ALLAH Ta'ala, Raja segala Raja, Pencipta segala sesuatu. Tidak ada satu tetes air pun turun ke bumi tanpa ijin-Nya. Tidak ada satu helai daun pun yang gugur tanpa pengetahuan-Nya. Dialah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pemelihara, Maha Segalanya. ALLAH, dengan segala kebaikannya telah menitipkan penyejuk mata, penghangat qalbu, ke rumah-rumah kita. Suatu hari nanti, DIA akan bertanya bagaimana kita memperlakukan apa yang DIA titipkan kepada kita.

Semoga ALLAH beri kita kemampuan untuk menjaga dan merawat amanah dari-Nya. Jangan sampai pada saatnya nanti kita dituntut oleh anak-anak kita, karena mereka merasa tidak kita perlakukan dengan layak, sebagaimana harusnya sebuah permata diperlakukan dengan baik.
Wallahua'alam. . .


Djogdja, 25 Januari 2015
~eMJe~

The Second Step of Our Home Education

Finally, tahun ini puteri kami akan bersua dengan usianya yang ke-7. Usia umum anak-anak di negeri kita memasuki gerbang baru jenjang pendidikan mereka, yaitu sekolah dasar. Setahun lebih yang lalu, ketika keluarga kami memutuskan untuk menjadi bagian dari pelaku homeschooling di negeri ini, kami tidak tahu akan sampai kapan akan melakukannya.

Waktu bergulir, setahun berlalu, enam tahun usia anak kami telah lebih setengah. Dia sudah percaya diri menjawab, "Aku homeschooling" jika ada yang bertanya dia sekolah di mana. Tetapi, sehari-hari dia melihat anak-anak tetangga berkemeja putih dan rok merah berangkat sekolah, mencangklong tas di bahu mereka. Sering saya bertanya, "Kakak pengen sekolah?" yang selalu dia jawab dengan, "Kakak suka homeschooling, tapi pengen ada temannya." Memang banyak teman-teman saya yang ingin menitipkan anak-anak mereka untuk belajar bersama kami. Tetapi selalu saya tegaskan, homeschooling menuntut keterlibatan langsung dari orangtua.

Akhir November 2014, sebelum suami saya berangkat ke Korea Selatan, kami bermusyawarah. Kami tawarkan kembali kepada ananda apakah dia ingin melanjutkan homeschooling atau masuk ke sekolah formal. Ketika itu dia menjawab,  "Kalau homeschooling nggak ada temannya kakak mau sekolah aja." Akhirnya, kami sampai pada kesepakatan untuk menyekolahkan anak kami di sekolah formal tahun ajaran baru nanti.

Awal Januari 2015, saya ajak ananda untuk survey ke beberapa sekolah dasar. Ada dua sekolah yang dia minati. Pilihan akhirnya jatuh pada salah satu sekolah islam terpadu yang lokasinya tak terlalu jauh dari rumah kami. Di jeda waktu menunggu panggilan sekolah untuk observasi anak, saya mendapat undangan pertemuan dari Komunitas Homeschooling Muslim Nusantara (HSMN). Memang, sekalipun saya banyak masuk ke group-group homeschooling yang ada di facebook, tapi kami belum pernah sekalipun mengikuti aktivitas bersama karena seringkali tidak memungkinkan bagi kami mengikutinya (misal acara berupa camp).

Di pertemuan HSMN itu, alhamdulillah anak kami bertemu dengan seorang ananda shalihah yang seusia dia, Hazimah namanya. Saat itu juga mereka berteman. Tak menunda-nunda, saya dan ibunda Hazimah sepakat untuk bergerak bersama. Sejak itu, anak-anak kami bertemu tiga kali dalam sepekan, dua hari belajar apa saja (tahsin, bahasa, menggambar, mewarnai, menggunting, dll) dan satu hari belajar renang.

Dan. . . masya Allah dampaknya bagi ananda kami. Dia katakan kepada saya, "Mi, kakak mau homeschooling aja seterusnya." Pernyataan inilah sebenarnya yang saya tunggu-tunggu sejak lama. Tetapi masa depannya adalah miliknya, karena itu dia berhak menentukan di mana dan bagaimana dia ingin dididik. Kami sebagai orangtua hanya fasilitator saja.

Dan, inilah saya. Saya tetap menguji kesungguhannya. Saya tanya lagi, lagi, dan lagi tentang pilihannya, yang dengan tegas selalu dia jawab, "Kakak mau homeschooling aja." Saya katakan kepadanya, jika dia sudah memilih, maka dia harus bertanggungjawab pada pilihannya. Dia juga yang harus menyampaikan kepada eyang kakung dan eyang putrinya mengenai pilihan pendidikannya. Semuanya dia jawab dengan, "Iya."

Segera saya sampaikan keputusan ananda kepada suami, yang beliau sambut dengan hamdalah.

Bismillaah. . . semoga ALLAH mudahkan kami menjalaninya, the second step of our home education.

Djogdja, 25 Januari 2015
~eMJe~




Rabu, 14 Januari 2015

Orangtua yang baik adalah...

Apakah orangtua yang baik adalah yang sempurna pengasuhannya? Tidak pernah melakukan kesalahan dalam mengasuh anak-anak mereka? Kenyataannya, dari sekian banyak kelas pengasuhan yang saya ikuti, pembicaranya adalah mereka yang pernah melakukan kesalahan dalam pengasuhannya. Sejumlah orangtua menakjubkan yang saya kenal juga pernah melakukan kesalahan dalam praktik parenting mereka. Tetapi, mereka merefleksi diri dari kesalahan itu dan memperbaiki kualitas pengasuhan mereka. Itulah menurut saya yang membuat mereka menjadi orangtua yang baik.

Seorang sahabat saya mengaku begitu asyik dengan gadget padahal batitanya ada di sebelahnya. Dia melakukan kesalahan tidak hadir secara utuh saat menemani batitanya bermain. Suatu hari gadget itu terjatuh ke selokan, dan dia meyakini bahwa itu adalah cara Allah menegurnya untuk memperbaiki pengasuhannya. Sekarang, dia selalu hadir seutuhnya saat menemani batitanya bermain.

Salah seorang pakar parenting yang pernah saya ikuti kelasnya mengatakan bahwa mulanya dia adalah seseorang yang mudah marah kepada anak-anaknya. Akibatnya, anak-anaknya menjadi anak-anak yang juga mudah marah. Belajar dari kesalahan itu beliau memperbaiki diri dan kualitas pengasuhannya. Itulah yang menjadi modal beliau berbagi dan akhirnya menjadi pakar pengasuhan.

Artinya, siapapun mungkin, boleh, bahkan pasti pernah melakukan kesalahan dalam praktik pengasuhan. Yang menjadikan kita orangtua yang baik atau tidak adalah apakah kita bersedia berubah dan memperbaiki diri setelah mengetahui kesalahan pengasuhan yang kita lakukan. 

Yuk, terus evaluasi kualitas pengasuhan kita. Observasi diri sendiri dan baca perilaku anak. Sebab, apapun praktik pengasuhan yang kita lakukan, hasilnya dapat kita baca dari perilaku anak. Semoga Allah beri kita taufik untuk senantiasa belajar menjadi orangtua yang baik. Aamiin. . .




Djogdja, 13 Januari 2015
~eMJe~


Selasa, 06 Januari 2015

Idealis Penyelaras

Ada apa denganku? Hehehe. . . Entahlah. Mungkin kebanyakan mikir yang nggak penting. Maklum, punya hobi observasi diri sendiri. Aku, ngerasa bahwa aku sekarang bukan aku dengan karakaterku yang dulu. Ada yang berubah dariku, bahkan aku sendiri merasakannya. Proses berpikirku, caraku menilai sesuatu, reaksiku terhadap sesuatu, tak sama lagi. Dan hari ini aku makin makin makin memikirkan perubahan itu. Jadilah aku duduk di sini, meja kerja yang sudah sebulan kutinggal liburan. Hei, kemarin aku memberi pemandangan baru untuknya, wall stiker berbunga pink berteman menara pisa dan eiffel dan bertuliskan Bonjour Paris. Yeah, moga-moga makin nambah inspirasi menulis, hahaha. . . Eh, ada couples juga di wall stiker itu. Hwaa. . . jadi rindu suamiku.

Jadi. . . aku duduk di sini, menyalakan notebook merahku, lalu ingat bahwa aku harus beli snack buat kopdar Paberland di rumah siang nanti. Ditinggal lagi deh si meja. Balik-balik, kubukalah mbah gugel, kuketik kata kunci yang melintasi di pikiranku: menghindari konflik, lebih menyukai kerja individu. Yah, dua hal yang paling kurasakan saat ini. Hasil searchingku mengantarku ke tes kepribadian MBTI. Kubaca cepat, menelaah diri, dan mencapai hasil yang menurutku paling sesuai dengan keadaanku saat ini. Inilah personality-ku saat ini, and 100% I agree with the analysis, hahaha. . . Syukurlah ngga ada yang salah dengan gado-gado pemikiran dan perasaanku, karena memang itulah tipe kepribadianku. Ngga ada yang salah juga dengan hobiku mengobservasi/membaca karakter orang lain, karena memang itulah ciri kepribadianku. Ngga ada yang salah dengan kebiasaanku mencurahkan pemikiran dan perasaanku hanya pada sedikit orang yang kupercaya. Benar banget bahwa aku sangat terluka jika ditolak atau dikritik. Tepat sekali aku lebih menyukai hubungan yang harmonis dan tidak senang konflik. And yes, aku berani mengerahkan seluruh tekad dan cenderung keras kepala untuk mencapai target yang penting buatku. Dan yang lainnya. . . dan yang lainnya... indeed, that's I am. :D :D :D


INFJ : Introvert, Intuitif, Perasa, Penilai
Tipe Idealis Penyelaras dikenali dari kepribadiannya yang kompleks dan memiliki begitu banyak pemikiran dan perasaan. Mereka orang-orang yang pada dasarnya bersifat hangat dan penuh pengertian. Tipe Idealis Penyelaras berharap banyak pada diri mereka sendiri dan orang lain. Mereka memiliki pemahaman yang kuat tentang sifat-sifat manusia dan seringnya menilai karakter dengan sangat baik. Namun mereka lebih sering menyimpan perasaan dan hanya mencurahkan pemikiran serta perasaan mereka kepada sedikit orang yang mereka percaya. Mereka sangat terluka jika ditolak atau dikritik. Tipe Idealis Penyelaras menganggap konflik sebagai situasi yang tidak menyenangkan dan lebih menyukai hubungan harmonis. Namun demikian, jika pencapaian sebuah target tertentu sangat penting bagi mereka, mereka dapat dengan berani mengerahkan seluruh tekad mereka hingga cenderung keras kepala.

Tipe Idealis Penyelaras memiliki fantasi yang hidup, intuisi yang nyaris seperti mampu membaca masa depan, dan seringkali sangat kreatif. Begitu berkutat dengan sebuah proyek, mereka melakukan segala daya upaya untuk mencapai tujuan-tujuan mereka. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka sering membuktikan diri sebagai pemecah masalah ulung. Mereka suka mendalami hingga ke akar permasalahan dan memiliki sifat ingin tahu alamiah serta haus akan pengetahuan. Pada saat bersamaan, mereka berorientasi praktis, terorganisir dengan baik, dan siap menangani situasi-situasi rumit dengan cara terstruktur dan pertimbangan matang. Ketika mereka berkonsentrasi pada sesuatu, mereka melakukannya dengan seratus persen – mereka sering begitu terbenam dalam sebuah pekerjaan sehingga melupakan hal lain di sekitar mereka. Itulah rahasia kesuksesan profesional mereka yang seringkali gilang gemilang.

Sebagai pasangan, tipe Idealis Penyelaras setia dan dapat diandalkan; hubungan permanen sangat penting bagi mereka. Mereka jarang jatuh cinta hingga mabuk kepayang dan juga tidak menyukai hubungan-hubungan asmara singkat. Kadang-kadang mereka sulit menunjukkan rasa sayang mereka dengan jelas sekalipun perasaan mereka dalam dan tulus. Dalam hal lingkaran pertemanan, semboyan mereka adalah: sedikit berarti lebih banyak! Sejauh menyangkut kenalan baru, mereka hanya dapat didekati hingga jarak tertentu; mereka lebih suka mencurahkan tenaga ke dalam pertemanan akrab yang jumlahnya sedikit. Tuntutan mereka kepada teman dan pasangan mereka sangat tinggi. Karena mereka tidak menyukai konflik, mereka akan diam sejenak sebelum menyuarakan masalah-masalah yang tidak memuaskan dan, ketika melakukannya, mereka berusaha sangat keras untuk tidak menyakiti siapa pun karenanya.




Ingin tahu hasil MBTI-mu? Silakan ke sini: https://penyala.wordpress.com/2012/04/21/test-kepribadian-mbti/