Selasa, 03 Februari 2015

"Nggak Boleh Beli Pakai Uang Orang Lain": Sebuah Pendidikan Karakter

gambar diambil dari: http://shapreschool.org/
Kini, kata homeschooling terdengar sangat seksi dan menarik perhatian para orangtua. Tidak hanya
orangtua yang memiliki anak-anak usia sekolah, tetapi juga orangtua yang memiliki anak usia bayi, batita dan balita. Banyak yang bertanya kepada saya tentang apa yang sebaiknya diajarkan kepada anak usia dini mereka, bahkan menanyakan kurikulum apa yang bisa disusun untuk anak-anak yang masih berusia setahun-dua tahun.

Selalu saya katakan, jawabannya adalah TAUHID, AKHLAQ, & ADAB. Pendidikan tauhid akan menjadikan anak-anak kita mengenal penciptanya, pemiliknya, pemberi segala kesenangan dan kebahagiannya. Dia akan pandai bersyukur, mampu mengikat makna atas penciptaan semesta. Lanjutannya dia akan mengenal dan akrab dengan ibadah. Pendidikan akhlaq akan menjadikan anak-anak kita sosok-sosok yang cerdas secara sosial, mapan dalam bergaul, berkarakter. Pendidikan adab akan mengenalkannya kepada sunnah, manner sebagai seorang muslim/ah. Bagaimana seorang muslim/ah makan dan minum, tidur, berpakaian, keluar rumah, naik kendaraan, masuk dan keluar kamar mandi, sangat penting dan mendasar. Itulah yang terpenting untuk ditanamkan kepada anak-anak kita. Stimulasi lainnya? Cukup dengan bermain, karena dengan bermainlah anak usia dini belajar sesuatu.

Pendidikan nilai yang kita tanamkan kepada anak akan terbukti jika anak kita berinteraksi dengan orang lain. Pengalaman kami baru-baru ini menjadi buktinya. Suatu hari saya meminta tolong dibelikan sesuatu kepada asisten rumah tangga kami ke warung dekat rumah. Anak saya meminta ikut menemani. Saya ijinkan. Setiba di rumah, dia menunjukkan sebungkus cokelat dengan sumringah. Sebenarnya nilai cokelat itu tidaklah seberapa, tetapi bukan di situ poin pentingnya. Yang utama adalah, dia hanya meminta ijin untuk menemani, tidak meminta ijin untuk dibelikan apa-apa. Saat itu saya sadari, ada pendidikan nilai (baru) yang harus saya tanamkan kepadanya.

Saya tidak mengijinkan anak saya memakan cokelat itu. Saya tegaskan kepadanya bahwa saat meminta ijin, dia hanya meminta ijin untuk menemani, maka dia harus menepatinya. Anak saya tampak kaget dengan reaksi saya. Tetapi dia tidak mengajukan reasoning apapun.
Dengan wajah sedih dia bertanya, "Lalu permennya?"
"Silakan kakak sedekahkan," jawab saya.
Akhirnya permen itu dia berikan kepada asisten rumah tangga kami (yang mempunyai anak usia 5 tahun). Saya lantas mengajak anak saya ke kamar, seperti biasa, mendiskusikan pengalaman baru kami. Saya sampaikan kepadanya, bukan permennya yang menjadi bagian dari pembelajaran kali ini, sebab seandainya tadi dia meminta ijin untuk dibelikan sesuatu, insya Allah saya pasti mengijinkan.

Sebenarnya saat itu bisa saja saya menoleransi, "Ah, cuma cokelat kecil saja, harganya tak seberapa." Tetapi bisa jadi ada konsekuensi besar dari toleransi saya, anak saya akan terbiasa meminta dibelikan ini-itu kepada siapa saja yang mengajaknya ke warung, swalayan, atau lokasi belanja mana saja.

Dan benar, beberapa hari setelah kejadian tersebut, adik ipar saya mengajak anak saya (dan anaknya) pergi ke sebuah swalayan. Sepulang dari sana, adik ipar saya bercerita bahwa ketika dia menawarkan ini-itu kepada anak saya, dia menjawab, "Enggak usah, nggak boleh beli-beli pakai uang orang lain." Rasanya saya ingin menangis sambil tertawa mendengar cerita adik ipar saya. Demikian apa adanya anak saya menangkap makna dari pesan saya tentang menepati ijin, sampai-sampai omnya sendiri dia anggap "orang lain." Tetapi saya bersyukur, ada sebuah nilai (lagi) yang tertanam di dirinya.

Sungguh, sang pendidik bukanlah kita (orangtua). Anak-anak kitalah yang senantiasa menghadirkan pembelajaran baru bagi kita, untuk terus berusaha menjadi orangtua yang lebih baik lagi. Wallahua'alam.


Djogdja, 03022015
~eMJe~







2 komentar: