Senin, 23 Desember 2013

Ale, Cucu Kakek Gurita Yang Disangka Cumi-cumi


   Ale baru saja menyelesaikan makan siangnya ditemani Kakek Gurita. Semangkuk sup udang yang sudah disiapkan Ibu sebelum berangkat kerja tadi pagi sudah habis dilahap Ale. Siang hari seperti ini biasanya Ale hanya berdua saja dengan Kakek Gurita di rumah mereka. Jika tidak tidur siang, ia sering minta diceritakan pengalaman seru kakek saat menjelajah air waktu masih muda. Kakek bilang, celah-celah terumbu karang adalah tempat paling asyik untuk bersembunyi, lumba-lumba adalah sahabat yang paling menyenangkan, dan kakek sering dianggap saudara kembar cumi-cumi oleh penghuni samudera yang lain.
      “Padahal kan tangan kakek hanya delapan, sedangkan cumi-cumi punya sepuluh.” Ujar Kakek Gurita seraya tertawa. Mendengarkan cerita kakek tidak pernah terasa membosankan. Karenanya, Ale juga ingin merasakan petualangan yang sama dengan kakek.
       “Kau tahu Ale, Kakek ini juaranya main petak umpet. Karena tubuh teman-teman Kakek besar-besar dan tidak lentur seperti Kakek, mereka selalu kesulitan menemukan kakek yang sembunyi di balik terumbu karang.” Cerita kakek dengan penuh rasa bangga.
      “Pernah satu kali saat akan sembunyi Kakek lihat ada sesuatu yang terjepit di antara karang-karang. Ternyata Pak Bebe belut laut yang terjepit di situ. Rupanya dia terlalu serius mengejar ikan kecil dan tidak sadar kalau karangnya semakin menyempit. Dia terlihat sangat kesakitan waktu itu. Kalau kakek tidak ke situ mungkin Pak Bebe tidak bisa bertahan hidup.”
      “Kakek menolong Kakek Bebe? Bagaimana caranya?” Tanya Ale penasaran.
     “Tentu saja dengan delapan tangan kakek yang kuat ini. Kakek dorong sepenuh tenaga batu karang yang menghimpit Pak Bebe. Akhirnya dia selamat.”
      Ale takjub sekali mendengar kisah seru kakeknya. Rasanya dia ingin diajak menjelajah terumbu karang yang  selalu jadi tempat persembunyian kakek saat main petak umpet dengan teman-temannya. Tapi sekarang Kakek Gurita sudah tua. Jalannya sangat lambat. Bahkan kakek sudah mulai kesulitan mengendalikan gerakan tangan-tangannya sehingga kerap menyenggol barang-barang di rumah. Ibu Ale sering mengomel sebab perabotan di rumah banyak yang pecah karena tersenggol kakek. Tapi kakek hanya terkekeh-kekeh saja setiap Ibu Ale mengomel seraya berujar,
      “Kalau begitu janganlah kau taruh terlalu banyak perabotan di dalam rumah ini.”

* * *
     Sepulang sekolah tadi, Ale lihat cuaca di samudera sedang cerah. Cahaya matahari bahkan mampu menembus hingga ke bagian dasar, berwarna-warni menerpa makhluk-makhluk yang hidup di dalamnya. Hewan-hewan laut yang berpapasan dengannya terlihat sangat gembira dengan hadirnya siluet cahaya di kedalaman air tempat tinggal mereka. Lulu lumba-lumba duduk di sebongkah karang sembari bernyanyi merdu. Sekelompok ikan badut berkejaran dengan gembira di antara rumput laut. Induk pari dan anaknya berenang melesat sembari meliuk-liukkan badan mereka. Rasanya sungguh sayang jika melewatkan hari yang cerah ini hanya dengan tidur siang. Selepas membersihkan sisa-sisa makanan dan mencuci piring, Ale pamit kepada kakek untuk bermain-main ke luar rumah.
      “Memangnya hendak ke mana?” Tanya kakek kepada Ale.
      “Mau naik ke permukaan laut, Kek. Cuacanya cerah sekali, nih. Ale ingin menikmati cahaya matahari. Pasti banyak burung-burung yang terbang di atas langit samudera jika harinya cerah seperti ini. Masa kakek saja yang punya pengalaman seru. Ale juga mau, dong!” Jawab Ale dengan penuh semangat.
     “Ya, sudah. Tapi jangan kesorean, ya! Sebelum Ayah dan Ibumu pulang, pastikan kau sudah sampai di rumah. Dan jangan lupa pesan kakek ya anak baik, tolonglah hewan-hewan yang memerlukan bantuanmu.”
     “Siap, Kek! Ale pergi dulu ya, Kek.”
    Sambil bersiul riang, Ale mengayunkan delapan tangannya membelah lautan. Perlahan-lahan berenang naik hingga mencapai permukaan air. Benar saja, ratusan burung perairan sedang asyik terbang di atas langit samudera. Beberapa ekor elang terlihat menukik ke arah lautan untuk menangkap ikan.
      Ale berenang ke arah tebing kapur di dekat pantai agar lebih puas menonton para burung. Sesampainya di kaki tebing, dia merayap menaiki bebatuan dengan tangan-tangannya. Saat tiba di atas, Ale terkaget-kaget melihat seekor bangau sedang duduk sendirian sambil memandangi teman-temannya.
       “Halo, teman. Ngapain di sini sendirian?” Sapa Ale kepada sang bangau.
      "Eh, hai. Tadi aku terbentur tebing, karena keasyikan melihat cara elang menangkap ikan. Sekarang sayapku terasa sakit. Jadi aku istirahat sebentar di sini.” Jawab bangau yang juga kaget karena Ale tiba-tiba ada di sebelahnya.
      "Oh, begitu. Hahaha. . . lucu juga kamu ini. Sesama burung perairan bukannya sama saja cara menangkap ikannya? Kenapa harus memperhatikan cara terbang burung lain sampai cedera begitu?”
     "Jangan salah, teman. Walaupun kami sama-sama jenis burung, tapi kami juga punya perbedaan, lho. Seperti kamu. Kamu sering dianggap kembaran gurita, kan? Padahal cumi-cumi dan gurita kan berbeda.” Jawab bangau.
        “Gurita? Aku ini memang gurita.” Ale kebingungan.
        “Oh, kamu bukan cumi-cumi, ya? Hahaha. . . maaf, maaf. Kukira kamu adalah cumi-cumi."
      “Bukan! Lihatlah, tanganku ada delapan. Cumi-cumi punya sepuluh tangan.” Wah, jadi benar cerita kakek bahwa mereka sering dianggap mirip dengan cumi-cumi.
     “Ooo. . . hahaha. Begitulah, teman. Sebagaimana kamu dan cumi-cumi, walaupun sepertinya aku dan elang sama-sama burung, tetapi sebenarnya cara  kami terbang dan memperoleh makanan berbeda. Dan melihat elang terbang selalu menyenangkan, Gurita. Sebab mereka sangat cepat dan tangkas.”
       “Begitu, ya. Omong-omong, kamu sudah makan siang atau belum?” Tanya Ale pada si bangau.          
      “Sebentar lagi, kalau sayapku sudah tak terlalu sakit aku akan mencari makan.” Jawab bangau.
     “Tunggu sebentar ya, aku mau turun dulu ke air.” Ujar Ale. Dengan delapan tangannya, mudah saja bagi Ale untuk mencapai air dengan cepat. Setelah kembali ke tebing, Ale mengulurkan sesuatu ke arah bangau.
        “Nih, silakan dimakan.”
        Wah, ternyata Ale mengambilkan seekor ikan untuk makan siang bangau yang cedera.
        “Oh, terima kasih banyak, Gurita. Kamu baik sekali.”
       “Tak mengapa. Pertemuan kita hari ini mengingatkanku pada kakekku. Kata kakekku, anak yang senang menolong adalah anak yang baik. Aku kan anak yang baik!” Seru Ale sambil tertawa. Bangau juga ikut tertawa mendengar kata-kata Ale. Lantas tanpa basa-basi, dia langsung melahap ikan pemberian Ale.
     Setelah melihat-lihat keindahan samudera dan keramaian burung perairan bersama bangau, Ale pamit pulang. Ditemani matahari yang beranjak senja dan oleh-oleh pengalamannya, tak sabar rasanya Ale untuk bercerita pada kakeknya.

-=Cerpen ini diikutsertakan dalam Lomba Lomba Cerpen Gurita.=-

3 komentar:

  1. keren mbak Miftahul Jannah cernaknya ^^ sukses yaa

    BalasHapus
  2. Terima kasih Mbak Tanti Amelia... ^^

    BalasHapus
  3. Hihihi.. namanya Ale jg :) nice story Ta.. ditunggu crt2 selanjutnya :)

    BalasHapus