Aku lahir dan besar di tanah Batak. Meski begitu, menurutku orang
tuaku mendidik kami (anak-anak mereka) dengan pendidikan agama yang baik,
setidaknya dibanding keluarga besar kami yang lain. Orang tuaku bahkan rela
meninggalkan rumah warisan orang tua Ibu demi bisa memindahkan kami ke
lingkungan yang ‘aman’, karena di rumah warisan nenek, kami bertetangga dengan
banyak Chinese yang non-muslim. Kukatakan baik kenapa? Aku ingat sudah mulai
belajar puasa sejak umur 4 tahun. Aku ingat satu-satunya momen ketika Abahku
marah kepadaku saat aku kelas 6 SD. Karena apa? Karena menunda-nunda sholat
Dhuhur. Aku ingat, hampir setiap sholat Subuh dan Maghrib kami sekeluarga sholat
berjama’ah di rumah. Momen salim seluruh anggota keluarga kami selepas sholat
adalah momen yang akan paling kurindukan sampai kapanpun juga. Tetapi satu,
orang tuaku tidak pernah mengenalkan kepadaku bahwa menutup aurat (berhijab) itu
wajib bagi anak perempuan yang sudah baligh.
Tahun 2001. Aku lolos seleksi masuk sebuah SMA Plus dengan sistem semi
militer di daerah kami. Sebuah sekolah berasrama yang ditujukan untuk memajukan
putera daerah. Tahun ini adalah awal aku
berpisah tinggal dengan orang tuaku. Bocah 15 tahun belajar hidup mandiri. Ada
120 orang siswa untuk seluruh tingkatan kelas di sekolahku. Saat aku masuk,
dari seluruh siswa, hanya 10 orang yang muslim, selebihnya beragama Kristen Protestan
dan Katholik.
Seperti sudah kusebutkan, sekolahku semi militer. Maka cara hidup kami
juga penuh kedisiplinan. Di asrama yang terletak di kaki gunung yang dinginnya
luar biasa kala pagi menjelang, setiap pagi-pagi buta kami sudah harus berlari
1 sampai 2 kilometer. Biasanya sih hanya anak-anak kelas 1 yang masih patuh
dengan aturan ini. Tetap berlari sesuai jarak yang ditentukan. Kalau anak-anak
kelas tinggi, alih-alih berlari sesuai jarak tempuh, mereka hanya berjalan
sambil ngerumpi. Terkadang baru seperempat perjalanan sudah kembali ke asrama.
Tidak hanya teman-temanku yang mayoritas non-muslim, tetapi juga pengasuh asrama, guru-guru dan kepala
sekolah. Bahkan untuk pelajaran agama Islam, sekolah kami terpaksa mendatangkan
guru dari sekolah lain. Jam pelajarannya di luar jam sekolah. Karenanya,
jangankan soal pengetahuan tentang kewajiban berhijab, pengetahuan agama yang
umum saja sangat minim sekali kami dapatkan di sini.
Segalanya mulai berubah ketika aku mendapat jatah pulang. Oh ya, setiap
satu bulan kami mendapat jatah pulang ke rumah. Pulang hari Sabtu selepas makan
siang, dan harus tiba kembali di asrama hari Ahad sebelum jam 5 sore. Pada satu
kali kepulangan, aku lupa kapan tepatnya, hari itu kakakku yang sudah kuliah di
luar kota juga pulang. Dan ada yang berbeda dengan penampilannya. Jilbabnya
lebar, dia tidak lagi mengenakan celana kulot melainkan gamis, dan dia berkaus
kaki. Kakakku sejak SMA memang sudah berhijab. Tetapi seingatku bukan karena
pemahaman tentang kewajiban berhijab, melainkan karena janjian sama
teman-temannya.
Jadilah momen kepulangan kami ketika itu berakhir dengan cerita seru
kakakku tentang aktivitasnya di kampus. Kakakku bilang dia ikut mentoring, juga
aktif di lembaga kampus yang mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan keagamaan.
Dia menyebutnya dengan lembaga dakwah kampus. Dan ternyata, kakakku juga mengoleh-olehiku
sebuah hadiah. Buku kecil berjudul “Panduan Hidup untuk Muslimah.” Besoknya
saat kembali ke asrama buku kecil itu kubawa serta. Sungguh penasaran dengan
isinya. Sepertinya buku semacam itu memang penting untuk aku yang hidup dengan
mayoritas non-muslim.
Bagian pertama buku tersebut langsung membahas tentang aurat dan
kewajiban untuk menutupnya bagi muslimah yang sudah baligh. Ada beberapa bagian
yang masih lekat dalam ingatanku sampai saat ini. Kalimat yang menyatakan bahwa
siapa yang meniru-niru suatu kaum maka ia termasuk golongan kaum tersebut, dan
sebuah hadist yang di dalamnya Rasulullaah SAW bersabda kepada Asma’ binti Abu
Bakar bahwa wanita yang sudah haid, tidak boleh terlihat dari dirinya selain
wajah dan telapak tangan.
Bersambung. . .
Mbak..ayo cepetan dilanjutin..kekekekekekeek....:D
BalasHapusEh. . . ada yang meninggalkan jejak di sini. . . kekekeke. . .
BalasHapusWet a minit yo Mbak. . . mengembalikan ingatan dulu :D
Waaahhh...ternyata jauh dibawah saya umurnya ya..sy msk SMAnya taun 96..xixiixixixix
BalasHapus#ra nyadar umur
X_X
96 aku masih SD kelas 6. Ga jauh banget lah Mbak... selisih 5-6 tahun ya... hehehe...
Hapus2001? Kita seangkatan toh mi? Haha
BalasHapus2001, 15 tahun? Seumuran donk.. Aah, kirain jauh di atasku, ternyata seumuran.. ^_^
BalasHapusLanjutannya kapan?
Mbak Prima, Chaerim. . . iya ya kita seumuran? Wah, gak nyangka juga ^^
BalasHapusLanjutannya kapan, ya? semoga semangatku segera muncul lagi untuk melanjutkannya :D