Ale
baru saja menyelesaikan makan siangnya ditemani Kakek Gurita. Semangkuk sup
udang yang sudah disiapkan Ibu sebelum berangkat kerja tadi pagi sudah habis
dilahap Ale. Siang hari seperti ini biasanya Ale hanya berdua saja dengan Kakek
Gurita di rumah mereka. Jika tidak tidur siang, ia sering minta diceritakan
pengalaman seru kakek saat menjelajah air waktu masih muda. Kakek bilang, celah-celah
terumbu karang adalah tempat paling asyik untuk bersembunyi, lumba-lumba adalah
sahabat yang paling menyenangkan, dan kakek sering dianggap saudara kembar cumi-cumi
oleh penghuni samudera yang lain.
“Padahal
kan tangan kakek hanya delapan, sedangkan cumi-cumi punya sepuluh.” Ujar Kakek
Gurita seraya tertawa. Mendengarkan cerita kakek
tidak pernah terasa membosankan. Karenanya, Ale juga ingin merasakan
petualangan yang sama dengan kakek.
“Kau tahu Ale, Kakek ini
juaranya main petak umpet. Karena tubuh teman-teman Kakek besar-besar dan tidak
lentur seperti Kakek, mereka selalu kesulitan menemukan kakek yang sembunyi di
balik terumbu karang.” Cerita kakek dengan penuh rasa bangga.
“Pernah satu kali saat akan
sembunyi Kakek lihat ada sesuatu yang terjepit di antara karang-karang.
Ternyata Pak Bebe belut laut yang terjepit di situ. Rupanya dia terlalu serius
mengejar ikan kecil dan tidak sadar kalau karangnya semakin menyempit. Dia
terlihat sangat kesakitan waktu itu. Kalau kakek tidak ke situ mungkin Pak Bebe
tidak bisa bertahan hidup.”
“Kakek menolong Kakek Bebe?
Bagaimana caranya?” Tanya Ale penasaran.
“Tentu saja dengan delapan
tangan kakek yang kuat ini. Kakek dorong sepenuh tenaga batu karang yang
menghimpit Pak Bebe. Akhirnya dia selamat.”
Ale takjub sekali mendengar
kisah seru kakeknya. Rasanya dia ingin diajak menjelajah terumbu karang
yang selalu jadi tempat persembunyian
kakek saat main petak umpet dengan teman-temannya. Tapi sekarang Kakek Gurita
sudah tua. Jalannya sangat lambat. Bahkan kakek sudah mulai kesulitan
mengendalikan gerakan tangan-tangannya sehingga kerap menyenggol barang-barang di
rumah. Ibu Ale sering mengomel sebab perabotan di rumah banyak yang pecah
karena tersenggol kakek. Tapi kakek hanya terkekeh-kekeh saja setiap Ibu Ale
mengomel seraya berujar,
“Kalau
begitu janganlah kau taruh terlalu banyak perabotan di dalam rumah ini.”
* * *
Sepulang
sekolah tadi, Ale lihat cuaca di samudera sedang cerah. Cahaya matahari bahkan
mampu menembus hingga ke bagian dasar, berwarna-warni menerpa makhluk-makhluk
yang hidup di dalamnya. Hewan-hewan laut yang berpapasan dengannya terlihat
sangat gembira dengan hadirnya siluet cahaya di kedalaman air tempat tinggal
mereka. Lulu lumba-lumba duduk di sebongkah karang sembari bernyanyi merdu. Sekelompok
ikan badut berkejaran dengan gembira di antara rumput laut. Induk pari dan
anaknya berenang melesat sembari meliuk-liukkan badan mereka. Rasanya sungguh
sayang jika melewatkan hari yang cerah ini hanya dengan tidur siang. Selepas membersihkan
sisa-sisa makanan dan mencuci piring, Ale pamit kepada kakek untuk bermain-main
ke luar rumah.
“Memangnya
hendak ke mana?” Tanya kakek kepada Ale.
“Mau
naik ke permukaan laut, Kek. Cuacanya cerah sekali, nih. Ale ingin menikmati
cahaya matahari. Pasti banyak burung-burung yang terbang di atas langit
samudera jika harinya cerah seperti ini. Masa kakek saja yang punya pengalaman
seru. Ale juga mau, dong!” Jawab Ale dengan penuh semangat.
“Ya,
sudah. Tapi jangan kesorean, ya! Sebelum Ayah dan Ibumu pulang, pastikan kau
sudah sampai di rumah. Dan jangan lupa pesan kakek ya anak baik, tolonglah
hewan-hewan yang memerlukan bantuanmu.”
“Siap,
Kek! Ale pergi dulu ya, Kek.”
Sambil
bersiul riang, Ale mengayunkan delapan tangannya membelah lautan.
Perlahan-lahan berenang naik hingga mencapai permukaan air. Benar saja,
ratusan burung perairan sedang asyik terbang di atas langit samudera. Beberapa
ekor elang terlihat menukik ke arah lautan untuk menangkap ikan.
Ale
berenang ke arah tebing kapur di dekat pantai agar lebih puas menonton para
burung. Sesampainya di kaki tebing, dia merayap menaiki bebatuan dengan tangan-tangannya.
Saat tiba di atas, Ale terkaget-kaget melihat seekor bangau sedang duduk
sendirian sambil memandangi teman-temannya.
“Halo,
teman. Ngapain di sini sendirian?” Sapa Ale kepada sang bangau.
"Eh,
hai. Tadi aku terbentur tebing, karena keasyikan melihat cara elang menangkap
ikan. Sekarang sayapku terasa sakit. Jadi aku istirahat sebentar di sini.” Jawab
bangau yang juga kaget karena Ale tiba-tiba ada di sebelahnya.
"Oh,
begitu. Hahaha. . . lucu juga kamu ini. Sesama burung perairan bukannya sama
saja cara menangkap ikannya? Kenapa harus memperhatikan cara terbang burung
lain sampai cedera begitu?”
"Jangan
salah, teman. Walaupun kami sama-sama jenis burung, tapi kami juga punya perbedaan,
lho. Seperti kamu. Kamu sering dianggap kembaran gurita, kan? Padahal cumi-cumi
dan gurita kan berbeda.” Jawab bangau.
“Gurita?
Aku ini memang gurita.” Ale kebingungan.
“Oh, kamu bukan cumi-cumi,
ya? Hahaha. . . maaf, maaf. Kukira kamu adalah cumi-cumi."
“Bukan! Lihatlah, tanganku
ada delapan. Cumi-cumi punya sepuluh tangan.” Wah, jadi benar cerita kakek
bahwa mereka sering dianggap mirip dengan cumi-cumi.
“Ooo. . . hahaha. Begitulah,
teman. Sebagaimana kamu dan cumi-cumi, walaupun sepertinya aku dan elang
sama-sama burung, tetapi sebenarnya cara kami terbang dan memperoleh makanan berbeda.
Dan melihat elang terbang selalu menyenangkan, Gurita. Sebab mereka sangat
cepat dan tangkas.”
“Begitu, ya. Omong-omong, kamu
sudah makan siang atau belum?” Tanya Ale pada si bangau.
“Sebentar
lagi, kalau sayapku sudah tak terlalu sakit aku akan mencari makan.” Jawab
bangau.
“Tunggu sebentar ya, aku mau
turun dulu ke air.” Ujar Ale. Dengan delapan tangannya, mudah saja bagi Ale
untuk mencapai air dengan cepat. Setelah kembali ke tebing, Ale mengulurkan
sesuatu ke arah bangau.
“Nih, silakan dimakan.”
Wah, ternyata Ale
mengambilkan seekor ikan untuk makan siang bangau yang cedera.
“Oh, terima kasih banyak,
Gurita. Kamu baik sekali.”
“Tak mengapa. Pertemuan kita
hari ini mengingatkanku pada kakekku. Kata kakekku, anak yang senang menolong adalah
anak yang baik. Aku kan anak yang baik!” Seru Ale sambil tertawa. Bangau juga ikut tertawa
mendengar kata-kata Ale. Lantas tanpa basa-basi, dia langsung melahap ikan
pemberian Ale.
Setelah melihat-lihat
keindahan samudera dan keramaian burung perairan bersama bangau, Ale pamit
pulang. Ditemani matahari yang beranjak senja dan oleh-oleh pengalamannya, tak
sabar rasanya Ale untuk bercerita pada kakeknya.