Selasa, 24 Desember 2013

My Hijab Story (Part 1)

Aku lahir dan besar di tanah Batak. Meski begitu, menurutku orang tuaku mendidik kami (anak-anak mereka) dengan pendidikan agama yang baik, setidaknya dibanding keluarga besar kami yang lain. Orang tuaku bahkan rela meninggalkan rumah warisan orang tua Ibu demi bisa memindahkan kami ke lingkungan yang ‘aman’, karena di rumah warisan nenek, kami bertetangga dengan banyak Chinese yang non-muslim.  Kukatakan baik kenapa? Aku ingat sudah mulai belajar puasa sejak umur 4 tahun. Aku ingat satu-satunya momen ketika Abahku marah kepadaku saat aku kelas 6 SD. Karena apa? Karena menunda-nunda sholat Dhuhur. Aku ingat, hampir setiap sholat Subuh dan Maghrib kami sekeluarga sholat berjama’ah di rumah. Momen salim seluruh anggota keluarga kami selepas sholat adalah momen yang akan paling kurindukan sampai kapanpun juga. Tetapi satu, orang tuaku tidak pernah mengenalkan kepadaku bahwa menutup aurat (berhijab) itu wajib bagi anak perempuan yang sudah baligh.

Tahun 2001. Aku lolos seleksi masuk sebuah SMA Plus dengan sistem semi militer di daerah kami. Sebuah sekolah berasrama yang ditujukan untuk memajukan putera daerah.  Tahun ini adalah awal aku berpisah tinggal dengan orang tuaku. Bocah 15 tahun belajar hidup mandiri. Ada 120 orang siswa untuk seluruh tingkatan kelas di sekolahku. Saat aku masuk, dari seluruh siswa, hanya 10 orang yang muslim, selebihnya beragama Kristen Protestan dan Katholik.

Seperti sudah kusebutkan, sekolahku semi militer. Maka cara hidup kami juga penuh kedisiplinan. Di asrama yang terletak di kaki gunung yang dinginnya luar biasa kala pagi menjelang, setiap pagi-pagi buta kami sudah harus berlari 1 sampai 2 kilometer. Biasanya sih hanya anak-anak kelas 1 yang masih patuh dengan aturan ini. Tetap berlari sesuai jarak yang ditentukan. Kalau anak-anak kelas tinggi, alih-alih berlari sesuai jarak tempuh, mereka hanya berjalan sambil ngerumpi. Terkadang baru seperempat perjalanan sudah kembali ke asrama.

Tidak hanya teman-temanku yang mayoritas non-muslim, tetapi  juga pengasuh asrama, guru-guru dan kepala sekolah. Bahkan untuk pelajaran agama Islam, sekolah kami terpaksa mendatangkan guru dari sekolah lain. Jam pelajarannya di luar jam sekolah. Karenanya, jangankan soal pengetahuan tentang kewajiban berhijab, pengetahuan agama yang umum saja sangat minim sekali kami dapatkan di sini.

Segalanya mulai berubah ketika aku mendapat jatah pulang. Oh ya, setiap satu bulan kami mendapat jatah pulang ke rumah. Pulang hari Sabtu selepas makan siang, dan harus tiba kembali di asrama hari Ahad sebelum jam 5 sore. Pada satu kali kepulangan, aku lupa kapan tepatnya, hari itu kakakku yang sudah kuliah di luar kota juga pulang. Dan ada yang berbeda dengan penampilannya. Jilbabnya lebar, dia tidak lagi mengenakan celana kulot melainkan gamis, dan dia berkaus kaki. Kakakku sejak SMA memang sudah berhijab. Tetapi seingatku bukan karena pemahaman tentang kewajiban berhijab, melainkan karena janjian sama teman-temannya.

Jadilah momen kepulangan kami ketika itu berakhir dengan cerita seru kakakku tentang aktivitasnya di kampus. Kakakku bilang dia ikut mentoring, juga aktif di lembaga kampus yang mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan keagamaan. Dia menyebutnya dengan lembaga dakwah kampus. Dan ternyata, kakakku juga mengoleh-olehiku sebuah hadiah. Buku kecil berjudul “Panduan Hidup untuk Muslimah.” Besoknya saat kembali ke asrama buku kecil itu kubawa serta. Sungguh penasaran dengan isinya. Sepertinya buku semacam itu memang penting untuk aku yang hidup dengan mayoritas non-muslim.

Bagian pertama buku tersebut langsung membahas tentang aurat dan kewajiban untuk menutupnya bagi muslimah yang sudah baligh. Ada beberapa bagian yang masih lekat dalam ingatanku sampai saat ini. Kalimat yang menyatakan bahwa siapa yang meniru-niru suatu kaum maka ia termasuk golongan kaum tersebut, dan sebuah hadist yang di dalamnya Rasulullaah SAW bersabda kepada Asma’ binti Abu Bakar bahwa wanita yang sudah haid, tidak boleh terlihat dari dirinya selain wajah dan telapak tangan.

Bersambung. . .

7 komentar:

  1. Mbak..ayo cepetan dilanjutin..kekekekekekeek....:D

    BalasHapus
  2. Eh. . . ada yang meninggalkan jejak di sini. . . kekekeke. . .
    Wet a minit yo Mbak. . . mengembalikan ingatan dulu :D

    BalasHapus
  3. Waaahhh...ternyata jauh dibawah saya umurnya ya..sy msk SMAnya taun 96..xixiixixixix

    #ra nyadar umur
    X_X

    BalasHapus
    Balasan
    1. 96 aku masih SD kelas 6. Ga jauh banget lah Mbak... selisih 5-6 tahun ya... hehehe...

      Hapus
  4. 2001? Kita seangkatan toh mi? Haha

    BalasHapus
  5. 2001, 15 tahun? Seumuran donk.. Aah, kirain jauh di atasku, ternyata seumuran.. ^_^
    Lanjutannya kapan?

    BalasHapus
  6. Mbak Prima, Chaerim. . . iya ya kita seumuran? Wah, gak nyangka juga ^^
    Lanjutannya kapan, ya? semoga semangatku segera muncul lagi untuk melanjutkannya :D

    BalasHapus